halal dan haram

AJARAN ISLAM TENTANG HALAL DAN HARAM
PERSOALAN halal-haram adalah seperti halnya soal-soal lain, di mana orang-orang jahiliah pernah tersesat dan mengalami kekacauan yang luarbiasa, sehingga mereka berani menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal.
Keadaan yang sama pernah juga dialami oleh golongan penyembah berhala (watsaniyin) dan ahli-ahli kitab.
Kesesatan ini akhirnya dapat menimbulkan suatu penyimpangan yang ekstrimis kanan, atau suatu penyimpangan yang ekstrimis kiri.
Di pihak kanan, misalnya: Kaum Brahmana Hindu, Para Rahib Kristen dan beberapa golongan lain yang berprinsip menyiksa diri dan menjauhi hal-hal yang baik dalam masalah makanan ataupun pakaian yang telah diserahkan Allah kepada hambaNya.
Kedurhakaan para rahib ini sudah pernah mencapai puncaknya pada abad pertengahan. Beribu-ribu rahib mengharamkan barang yang halal sehingga sampai kepada sikap yang keterlaluan. Sampai-sampai di antara mereka ada yang menganggap dosa karena mencuci dua kaki, dan masuk kamar mandi dianggap dapat membawa kepada penyesalan dan kerugian.
Dari golongan ekstrimis kiri, dapat dijumpai misalnya aliran Masdak yang timbul.di Parsi. Golongan ini menyuarakan kebolehan yang sangat meluas. Kendali manusia dilepaskan, supaya dapat mencapai apa saja yang dikehendaki. Segala-galanya bagi mereka adalah halal, sampaipun kepada masalah identitas dan kehormatan diri yang telah dianggapnya suci oleh fitrah manusia.
Bangsa Arab di zaman Jahiliah merupakan contoh konkrit, betapa tidak beresnya barometer untuk menentukan halal-haramnya sesuatu benda atau perbuatan. Oleh karena itu membolehkan minuman-minuman keras, makan riba yang berlipat-ganda, menganiaya perempuan dan sebagainya. Lebih dari itu, mereka juga telah dipengaruhi oleh godaan syaitan yang terdiri dari jin dan manusia sehingga mereka tega membunuh anak mereka dan mengunyah-ngunyah jantungnya. Godaan itu mereka turutinya juga. Perasaan kebapaan yang bersarang dalam hatinya, samasekali ditentang.
"Dan begitu juga kebanyakan dari orang-orang musyrik itu telah dihiasi oleh sekutu-sekutu mereka untuk membunuh anak-anak mereka guna menjerumuskan mereka dan meragu kan mereka agama mereka. " (al-An'am : 137)
Para sekutu dari pelindung berhala itu melalui berbagai cara dalam mengganggu kaum bapa untuk membunuh anak-anak mereka antara lain:
takut miskin.
takut tercela, kalau anak yang lahir itu wanita.
demi bertakarrub kepada Tuhan, yaitu dengan mengorbankan anak.
Satu hal yang mengherankan, yaitu bahwa mereka yang membolehkan membunuh anak, baik dengan dipotong ataupun dengan ditanam hidup-hidup, tetapi justeru mengharamkan beberapa makanan dan binatang yang baik-baik.
Dan yang lebih mengherankan lagi, bahwa itu semua dianggapnya sebagai hukum agama. Mereka nisbatkannya kepada Allah. Tetapi kemudian oleh Allah, anggapan ini dibantah dengan firmanNya:
"Mereka berpendapat: ini adalah binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan yang terlarang, tidak boleh dimakan kecuali orang-orang yang kami kehendaki menurut anggapan mereka dan juga diharamkan untuk dinaiki, dan binatang-binatang yang mereka tidak sebut asma Allah atasnya karena hendak berbuat dusta atas nama Allah. (Begitulah) mereka itu kelak akan dibalas lantaran kedustaan yang mereka perbuat." (al-An'am: 138)
Al-Quran telah menegaskan kesesatan mereka yang berani menghalalkan sesuatu yang seharusnya haram, dan mengharamkan sesuatu yang seharusnya halal; al-Quran mengatakan:
"Sungguh rugilah orang-orang yang telah membunuh anak-anak mereka lantaran kebodohannya dengan tidak mengarti itu, dan mereka yang telah mengharamkan rezeki yang Allah sudah berikan kepada mereka (lantaran hendak) berdusta atas (nama) Allah; mereka itu pada hakikatnya telah sesat, dan mereka itu tidak mau mengikuti pimpinan." (al-An'am: 140)
Kedatangan Islam langsung dihadapkan dengan kesesatan dan ketidak-beresan tentang persoalan halal dan haram ini. Oleh karena itu pertama kali undang-undang yang dibuat guna memperbaiki segi yang sangat membahayakan ini ialah dengan membuat sejumlah Pokok-pokok Perundang-undangan sebagai standard untuk dijadikan landasan guna menentukan halal dan haram. Seluruh persoalan yang timbul, dapat dikembalikan kepadanya, seluruh neraca kejujuran dapat ditegakkan; keadilan dan keseimbangan yang menyangkut soal halal dan haram dapat dikembalikan.
Oleh karena itu ummat Islam menduduki sebagai golongan penengah (ummatan wasathan) di antara ekstrimis kanan dan ekstrimis kiri sebagaimana telah ditegaskan sendiri oleh Allah; yaitu dengan dijadikan ummat Islam ini sebagai ummat pilihan (khaira ummah) yang diketengahkan ke hadapan ummat manusia.1


1.1 Asal Tiap-Tiap Sesuatu Adalah Mubah
DASAR pertama yang ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal sesuatu yang dicipta Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nas yang sah dan tegas dari syari' (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul) yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nas yang sah --misalnya karena ada sebagian Hadis lemah-- atau tidak ada nas yang tegas (sharih) yang menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah.
Ulama-ulama Islam mendasarkan ketetapannya, bahwa segala sesuatu asalnya mubah, seperti tersebut di atas, dengan dalil ayat-ayat al-Quran yang antara lain:
"Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya." (al-Baqarah: 29)
"(Allah) telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya daripadaNya." (al-Jatsiyah: 13)
"Belum tahukah kamu, bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya yang nampak maupun yang tidak nampak." (Luqman: 20)
Allah tidak akan membuat segala-galanya ini yang diserahkan kepada manusia dan dikurniakannya, kemudian Dia sendiri mengharamkannya. Kalau tidak begitu, buat apa Ia jadikan, Dia serahkan kepada manusia dan Dia kurniakannya?
Beberapa hal yang Allah haramkan itu, justeru karena ada sebab dan hikmat, yang --insya Allah-- akan kita sebutkan nanti.
Dengan demikian arena haram dalam syariat Islam itu sebenarnya sangat sempit sekali; dan arena halal malah justeru sangat luas. Hal ini adalah justeru nas-nas yang sahih dan tegas dalam hal-haram, jumlahnya sangat minim sekali. Sedang sesuatu yang tidak ada keterangan halal-haramnya, adalah kembali kepada hukum asal yaitu halal dan termasuk dalam kategori yang dima'fukan Allah.
Untuk soal ini ada satu Hadis yang menyatakan sebagai berikut:
"Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa yang Ia diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma'fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikitpun." Kemudian Rasulullah membaca ayat: dan Tuhanmu tidak lupa.2 (Riwayat Hakim dan Bazzar)
"Rasulullah s.aw. pernah ditanya tentang hukumnya samin, keju dan keledai hutan, maka jawab beliau: Apa yang disebut halal ialah: sesuatu yang Allah halalkan dalam kitabNya; dan yang disebut haram ialah: sesuatu yang Allah haramkan dalam kitabNya; sedang apa yang Ia diamkan, maka dia itu salah satu yang Allah maafkan buat kamu." (Riwayat Tarmizi dan lbnu Majah)
Rasulullah tidak ingin memberikan jawaban kepada si penanya dengan menerangkan satu persatunya, tetapi beliau mengembalikan kepada suatu kaidah yang kiranya dengan kaidah itu mereka dapat diharamkan Allah, sedang lainnya halal dan baik.
Dan sabda beliau juga,
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia." (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Di sini ingin pula saya jelaskan, bahwa kaidah asal segala sesuatu adalah halal ini tidak hanya terbatas dalam masalah benda, tetapi meliputi masalah perbuatan dan pekerjaan yang tidak termasuk daripada urusan ibadah, yaitu yang biasa kita istilahkan dengan Adat atau Mu'amalat. Pokok dalam masalah ini tidak haram dan tidak terikat, kecuali sesuatu yang memang oleh syari' sendiri telah diharamkan dan dikonkritkannya sesuai dengan firman Allah:
"Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu." (al-An'am: 119)
Ayat ini umum, meliputi soal-coal makanan, perbuatan dan lain-lain.
Berbeda sekali dengan urusan ibadah. Dia itu semata-mata urusan agama yang tidak ditetapkan, melainkan dari jalan wahyu. Untuk itulah, maka terdapat dalam suatu Hadis Nabi yang mengatakan:
"Barangsiapa membuat cara baru dalam urusan kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia itu tertolak." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ini, adalah karena hakikat AGAMA --atau katakanlah IBADAH-- itu tercermin dalam dua hal, yaitu:
Hanya Allah lah yang disembah.
Untuk menyembah Allah, hanya dapat dilakukan menurut apa yang disyariatkannya.
Oleh karena itu, barangsiapa mengada-ada suatu cara ibadah yang timbul dari dirinya sendiri --apapun macamnya-- adalah suatu kesesatan yang harus ditolak. Sebab hanya syari'lah yang berhak menentukan cara ibadah yang dapat dipakai untuk bertaqarrub kepadaNya.
Adapun masalah Adat atau Mu'amalat, sumbernya bukan dari syari', tetapi manusia itu sendiri yang menimbulkan dan mengadakan. Syari' dalam hal ini tugasnya adalah untuk membetulkan, meluruskan, mendidik dan mengakui, kecuali dalam beberapa hal yang memang akan membawa kerusakan dan mudharat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Sesungguhnya sikap manusia, baik yang berbentuk omongan ataupun perbuatan ada dua macam: ibadah untuk kemaslahatan agamanya, dan kedua adat (kebiasaan) yang sangat mereka butuhkan demi kemaslahatan dunia mereka Maka dengan terperincinya pokok-pokok syariat, kita dapat mengakui, bahwa seluruh ibadah yang telah dibenarkannya, hanya dapat ditetapkan dengan ketentuan syara' itu sendiri."
Adapun masalah Adat yaitu yang biasa dipakai ummat manusia demi kemaslahatan dunia mereka sesuai dengan apa yang mereka butuhkan, semula tidak terlarang. Semuanya boleh, kecuali hal-hal yang oleh Allah dilarangnya Demikian itu adalah karena perintah dan larangan, kedua-duanya disyariatkan Allah. Sedang ibadah adalah termasuk yang mesti diperintah. Oleh karena itu sesuatu, yang tidak diperintah, bagaimana mungkin dihukumi terlarang.
Imam Ahmad dan beberapa ahli fiqih lainnya berpendapat: pokok dalam urusan ibadah adalah tauqif (bersumber pada ketetapan Allah dan Rasul). Oleh karena itu ibadah tersebut tidak boleh dikerjakan, kecuali kalau ternyata telah disyariatkan oleh Allah. Kalau tidak demikian, berarti kita akan termasuk dalam apa yang disebutkan Allah:
"Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah?" (as-Syura: 21)
Sedang dalam persoalan Adat prinsipnya boleh. Tidak satupun yang terlarang, kecuali yang memang telah diharamkan. Kalau tidak demikian, maka kita akan termasuk dalam apa yang dikatakan Allah:
"Katakanlah! Apakah kamu sudah mengetahui sesuatu yang diturunkan Allah untuk kamu daripada rezeki, kemudian kamu jadikan daripadanya itu haram dan halal? Katakanlah! Apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah kamu memang berdusta atas (nama) Allah?" (Yunus: 59)
Ini adalah suatu kaidah yang besar sekali manfaatnya. Dengan dasar itu pula kami berpendapat: bahwa jual-bell, hibah, sewa-menyewa dan lain-lain adat yang selalu dibutuhkan manusia untuk mengatur kehidupan mereka seperti makan, minum dan pakaian. Agama membawakan beberapa etika yang sangat baik sekali, yaitu mana yang sekiranya membawa bahaya, diharamkan; sedang yang mesti, diwajibkannya. Yang tidak layak, dimakruhkan; sedang yang jelas membawa maslahah, disunnatkan.
Dengan dasar itulah maka manusia dapat melakukan jual-beli dan sewa-menyewa sesuka hatinya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara'. Begitu juga mereka bisa makan dan minum sesukanya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara', sekalipun sebagiannya ada yang oleh syara' kadangkadang disunnatkan dan ada kalanya dimakruhkan. Sesuatu yang oleh syara' tidak diberinya pembatasan, mereka dapat menetapkan menurut kemutlakan hukum asal.3
Prinsip di atas, sesuai dengan apa yang disebut dalam Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata:
"Kami pernah melakukan 'azl'4, sedang waktu itu al-Quran masih turun; kalau hal tersebut dilarang, niscaya al-Quran akan melarangnya."
Ini menunjukkan, bahwa apa saja yang didiamkan oleh wahyu, bukanlah terlarang. Mereka bebas untuk mengerjakannya, sehingga ada nas yang melarang dan mencegahnya.
Demikianlah salah satu daripada kesempurnaan kecerdasan para sahabat.
Dan dengan ini pula, ditetapkan suatu kaidah: "Soal ibadah tidak boleh dikerjakan kecuali dengan syariat yang ditetapkan Allah; dan suatu hukum adat tidak boleh diharamkan, kecuali dengan ketentuan yang diharamkan oleh Allah."

1.3 Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram Sama dengan Syirik
KALAU Islam mencela sikap orang-orang yang suka menentukan haram dan halal itu semua, maka dia juga telah memberikan suatu kekhususan kepada mereka yang suka mengharamkan itu dengan suatu beban yang sangat berat, karena memandang, bahwa hal ini akan merupakan suatu pengungkungan dan penyempitan bagi manusia terhadap sesuatu yang sebenarnya oleh Allah diberi keleluasaan. Di samping hal tersebut memang karena ada beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh sementara ahli agama yang berlebihan.
Nabi Muhammad sendiri telah berusaha untuk memberantas perasaan berlebihan ini dengan segala senjata yang mungkin. Di antaranya ialah dengan mencela dan melaknat orang-orang yang suka berlebih-lebihan tersebut, yaitu sebagaimana sabdanya:
"Ingatlah! Mudah-mudahan binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan itu." (3 kali). (Riwayat Muslim dan lain-lain)
Dan tentang sifat risalahnya itu beliau tegaskan:
"Saya diutus dengan membawa suatu agama yang toleran." (Riwayat Ahmad)
Yakni suatu agama yang teguh dalam beraqidah dan tauhid, serta toleran (lapang) dalam hal pekerjaan dan perundang-undangan. Lawan daripada dua sifat ini ialah syirik dan mengharamkan yang halal. Kedua sifat yang akhir ini oleh Rasulullah s.a.w. dalam Hadis Qudsinya dikatakan, firman Allah:
"Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya." (Riwayat Muslim)
Oleh karena itu, mengharamkan sesuatu yang halal dapat dipersamakan dengan syirik. Dan justeru itu pula al-Quran menentang keras terhadap sikap orang-orang musyrik Arab terhadap sekutu-sekutu dan berhala mereka, dan tentang sikap mereka yang berani mengharamkan atas diri mereka terhadap makanan dan binatang yang baik-baik, padahal Allah tidak mengizinkannya. Diantaranya mereka telah mengharamkan bahirah (unta betina yang sudah melahirkan anak kelima), saibah (unta betina yang dinazarkan untuk berhala), washilah (kambing yang telah beranak tujuh) dan ham (Unta yang sudah membuntingi sepuluh kali; untuk ini dikhususkan buat berhala).
Orang-orang Arab di zaman Jahiliah beranggapan, kalau seekor unta betina beranak sudah lima kali sedang anak yang kelima itu jantan, maka unta tersebut kemudian telinganya dibelah dan tidak boleh dinaiki. Mereka peruntukkan buat berhalanya. Karena itu tidak dipotong, tidak dibebani muatan dan tidak dipakai untuk menarik air. Mereka namakan unta tersebut al-Bahirah yakni unta yang dibelah telinganya.
Dan kalau ada seseorang datang dari bepergian, atau sembuh dari sakit dan sebagainya dia juga memberikan tanda kepada seekor untanya persis seperti apa yang diperbuat terhadap bahirah itu. Unta tersebut mereka namakan saibah.
Kemudian kalau ada seekor kambing melahirkan anak betina, maka anaknya itu untuk yang mempunyai; tetapi kalau anaknya itu jantan, diperuntukkan buat berhalanya. Dan jika melahirkan anak jantan dan betina, maka mereka katakan: Dia telah sampai kepada saudaranya; oleh karena itu yang jantan tidak disembelih karena diperuntukkan buat berhalanya. Kambing seperti ini disebut washilah.
Dan jika seekor binatang telah membuntingi anak-anaknya, maka mereka katakan: Dia sudah dapat melindungi punggungnya. Yakni binatang tersebut tidak dinaiki, tidak dibebani muatan dan sebagainya. Binatang seperti ini disebut al-Haami.
Al-Quran bersikap keras terhadap sikap pengharaman ini, dan tidak menganggap sebagai suatu alasan karena taqlid kepada nenek-moyangnya dalam kesesatan ini. Firman Allah:
"Allah tidak menjadikan (mengharamkan) bahirah, saibah, washilah dan ham, tetapi orang-orang kafirlah yang berbuat dusta atas (nama) Allah, dan kebanyakan mereka itu tidak mau berfikir. Dan apabila dikatakan kepada mereka: Mari kepada apa yang telah diturunkan Allah dan kepada Rasul, maka mereka menjawab: Kami cukup menirukan apa yang kami jumpai pada nenek-nenek moyang kami; apakah (mereka tetap akan mengikutinya) sekalipun nenek-nenek moyangnya itu tidak berpengetahuan sedikitpun dan tidak terpimpin?" (al-Maidah : 103-104)
Dalam surah al-An'am ada semacam munaqasyah (diskusi) mendetail terhadap prasangka mereka yang telah mengharamkan beberapa binatang, seperti: unta, sapi, kambing biri-biri dan kambing kacangan.
Al-Quran membawakan diskusi tersebut dengan suatu gaya bahasa yang cukup dapat mematikan, akan tetapi dapat membangkitkan juga.
Kata al-Quran:
"Ada delapan macam binatang; dari kambing biri-biri ada dua, dan dari kambing kacangan ada dua pula; katakanlah (Muhammad): Apakah kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, atau kedua-duanya yang betina ataukah semua yang dikandung dalam kandungan yang betina kedua-duanya? (Cobalah) beri penjelasan aku dengan suatu dalil, jika kamu orang-orang yang benar! Begitu juga dari unta ada dua macam,- dan dari sapi ada dua macam juga; katakanlah (Muhammad!) apakah kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, ataukah kedua-duanya yang betina?" (al-An'am: 143-144)
Di surah al-A'raf pun ada juga munaqasyah tersebut dengan suatu penegasan keingkaran Allah terhadap orang-orang yang suka mengharamkan dengan semaunya sendiri itu; di samping Allah menjelaskan juga beberapa pokok binatang yang diharamkan untuk selamanya. Ayat itu berbunyi sebagai berikut:
"Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui." (al-A'raf: 32-33)
Seluruh munaqasyah ini terdapat pada surah-surah Makiyyah yang diturunkan demi mengkukuhkan aqidah dan tauhid serta ketentuan di akhirat kelak. Ini membuktikan, bahwa persoalan tersebut, dalam pandangan al-Quran, bukan termasuk dalam kategori cabang atau bagian, tetapi termasuk masalah-masalah pokok dan kulli.
Di Madinah timbul di kalangan pribadi-pribadi kaum muslimin ada orang-orang yang cenderung untuk berbuat keterlaluan, melebih-lebihkan dan mengharamkan dirinya dalam hal-hal yang baik. Untuk itulah maka Allah menurunkan ayat-ayat muhkamah (hukum) untuk menegakkan mereka dalam batas-batas ketentuan Allah dan mengernbalikan mereka ke jalan yang lempang.
Di antara ayat-ayat itu berbunyi sebagai berikut:
"Hai orang-orang yang beriman: Janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik (dari) apa yang Allah telah halalkan buat kamu, dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang suka melewati batas. Dan makanlah sebagian rezeki yang Allah berikan kepadamu dengan halal dan baik, dan takutlah kamu kepada Allah zat yang kamu beriman dengannya." (al-Maidah: 87-88)
1.4 Mengharamkan yang Halal akan Berakibat Timbulnya Kejahatan dan Bahaya
DI ANTARA hak Allah sebagai Zat yang menciptakan manusia dan pemberi nikmat yang tiada terhitung banyaknya itu, ialah menentukan halal dan haram dengan sesukanya, sebagaimana Dia juga berhak menentukan perintah-perintah dan syi'ar-syi'ar ibadah dengan sesukanya. Sedang buat manusia sedikitpun tidak ada hak untuk berpaling dan melanggar.
Ini semua adalah hak Ketuhanan dan suatu kepastian persembahan yang harus mereka lakukan untuk berbakti kepadaNya. Namun, Allah juga berbelas-kasih kepada hambaNya. Benar! Bahwa Allah pernah juga mengharamkan hal-hal yang baik kepada orang-orang Yahudi. Tetapi semua itu merupakan hukuman kepada mereka atas kedurhakaan yang mereka perbuat dan pelanggarannya terhadap larangan Allah. Hai ini telah dijelaskan sendiri oleh Allah dalam firman Nya:
"Dan kepada orang-orang Yahudi kami haramkan semua binatang yang berkuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan lemak-lemaknya, atau (lemak) yang terdapat di punggungnya, atau yang terdapat dalam perut, atau yang tercampur dengan tulang. Yang demikian itu kami (sengaja) hukum mereka lantaran kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya kami adalah (di pihak) yang benar." (al-An'am: 146)
Di antara bentuk kedurhakaannya itu telah dijelaskan Allah dalam surah lain, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
"Sebab kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu, maka kami haramkan atas mereka (makanan-makanan) yang baik yang tadinya telah dihalalkan untuk mereka; dan sebab gangguan mereka terhadap agama Allah dengan banyak; dan sebab mereka memakan harta riba padahal telah dilarangnya; dan sebab mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil." (an-Nisa': 160-161)
Setelah Allah mengutus Nabi Muhammad, sebagai Nabi terakhir dengan membawa agama yang universal dan abadi, maka salah satu di antara rahmat kasih Allah kepada manusia, sesudah manusia itu matang dan dewasa berfikir, dihapusnya beban haram yang pernah diberikan Allah sebagai hukuman sementara yang bermotif mendidik itu, di mana beban tersebut cukup berat dan menegangkan leher masyarakat.
Kerasulan Nabi Muhammad ini telah disebutkan dalam Taurat, dan namanya pun sudah dikenal oleh ahli-ahli kitab, yaitu seperti yang disebutkan dalam al-Quran:
"Mereka (ahli kitab) itu mengetahui dia (nama Muhammad) tertulis di sisi mereka dalam Taurat dan Injil --dengan tugas-- untuk mengajak kepada kebajikan dan melarang daripada kemungkaran, dan menghalalkan kepada mereka yang baik-baik, dan mengharamkan atas mereka yang tidak baik, serta mencabut dari mereka beban mereka dan belenggu yang ada pada mereka." (al-A'raf: 157)
Di dalam Islam caranya Allah menutupi kesalahan, bukan dengan mengharamkan barang-barang baik yang lain, tetapi ada beberapa hal yang di antaranya ialah:
Taubat dengan ikhlas (taubatan nasuha). Taubat ini dapat menghapuskan dosa bagaikan air jernih yang dapat menghilangkan kotoran.
Dengan mengerjakan amalan-amalan yang baik, karena amalan-amalan yang baik itu dapat menghilangkan kejelekan.
Dengan bersedekah (shadaqah) karena shadaqah itu dapat menghapus dosa, bagaikan air yang dapat memadamkan api.
Dengan ditimpa oleh beberapa musibah dan percobaan, dimana musibah dan percobaan itu dapat meleburkan kesalahan-kesalahan, bagaikan daun pohon kalau sudah kering akan menjadi hancur.
Dengan demikian, maka dalan Islam dikenal, bahwa mengharamkan sesuatu yang halal itu dapat membawa satu keburukan dan bahaya. Sedang seluruh bentuk bahaya adalah hukumnya haram. Sebaliknya yang bermanfaat hukumnya halal. Kalau suatu persoalan bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, maka hal tersebut hukumnya haram. Sebaliknya, kalau manfaatnya lebih besar, maka hukumnya menjadi halal.
Kaidah ini diperjelas sendiri oleh al-Quran, misalnya tentang arak, Allah berfirman:
"Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang hukumnya arak dan berjudi, maka jawablah: bahwa keduanya itu ada suatu dosa yang besar, di samping dia juga bermanfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya." (al-Baqarah: 219)
Dan begitu juga suatu jawaban yang tegas dari Allah ketika Nabi Muhammad ditanya tentang masalah halal dalam Islam. Jawabannya singkat Thayyibaat (yang baik-baik). Yakni segala sesuatu yang oleh jiwa normal dianggapnya baik dan layak untuk dipakai di masyarakat yang bukan timbul karena pengaruh tradisi, maka hal itu dipandang thayyib (baik, bagus, halal). Begitulah seperti yang dikatakan Allah dalam al-Quran:
"Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa saja yang dihalalkan untuk mereka? Maka jawablah: semua yang baik adalah dihalalkan buat kamu." (al-Maidah: 4)
Dan firmanNya pula:
"Pada hari ini telah dihalalkan untuk kamu semua yang baik." (al-Maidah: 5)
Oleh karena itu tidak layak bagi seorang muslim yang mengetahui dengan rinci tentang apa yang disebut jelek dan bahaya yang justeru karenanya hal tersebut diharamkan Allah, kemudian kadang-kadang dia akan menyembunyikan sesuatu yang mungkin nampak pada orang lain. Sebab kadang-kadang ada juga sesuatu kejelekan yang tidak tampak pada suatu masa, tetapi di waktu lain dia akan tampak. Waktu itu setiap mu'min harus mengatakan Sami'na Wa'athanaa (kami mendengarkan dan kami mematuhi).
Tidaklah kamu mengetahui, bahwa Allah telah mengharamkan daging babi, tetapi tidak seorang Islam pun yang mengerti sebab diharamkannya daging babi itu, selain karena kotor. Tetapi kemudian dengan kemajuan zaman, ilmu pengetahuan telah menyingkapkan, bahwa di dalam daging babi itu terdapat cacing pita dan bakteri yang membunuh.
Kalau sekiranya ilmu pengetahuan tidak membuka sesuatu yang terdapat dalam daging babi itu seperti tersebut di atas atau lebih dari itu, niscaya sampai sekarang ummat Islam tetap berkeyakinan, bahwa diharamkannya daging babi itu justeru karena najis (rijsun).
Contoh lain, misalnya Hadis Nabi yang mengatakan:
"Takutlah kamu kepada tiga pelaknat (tiga perkara yang menyebabkan seseorang mendapat laknat Allah), yaitu: buang air besar (berak) di tempat mata air, di jalan besar dan di bawah pohon (yang biasa dipakai berteduh)." (Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi)
Pada abad-abad permulaan tidak seorang pun tahu selain hanya karena kotor, yang tidak dapat diterima oleh perasaan yang sehat dan kesopanan umum. Tetapi setelah ilmu pengetahuan mencapai puncak kemajuannya, maka akhirnya kita mengetahui, bahwa justeru tiga pelaknat di atas adalah memang sangat berbahaya bagi kesehatan umum. Dia merupakan pangkal berjangkitnya wabah penyakit anak-anak, seperti anchylostoma dan bilharzia.
Begitulah, setelah sinar ilmu pengetahuan itu dapat menembus dan meliputi lapangan yang sangat luas, maka kita menjadi makin jelas untuk mengetahui halal dan haram serta rahasia setiap hukum. Bagaimana tidak! Sebab dia adalah hukum yang dibuat oleh Zat yang Maha Tahu, Maha Bijaksana dan Maha Berbelas-kasih kepada hambaNya. Yaitu seperti yang difirmankan Allah dalam al-Quran:
"Allah mengetahui orang yang suka berbuat jahat dari pada orang yang berbuat baik; dan jika Allah mau, niscaya Ia akan beratkan kamu, karena sesungguhnya Allah Maha Gagah dan Maha Bijaksana." (al-Baqarah: 220)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website TemplatesFreethemes4all.comFree CSS TemplatesFree Joomla TemplatesFree Blogger TemplatesFree Wordpress ThemesFree Wordpress Themes TemplatesFree CSS Templates dreamweaverSEO Design