III.19. PERGESERAN PENGERTIAN "SUNNAH" KE "HADITS"       (1/3)
IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH
oleh Nurcholish Madjid
Dalam   masyarakat   Islam   di   beberapa   negara   terdapat
kelompok-kelompok   yang  meragukan  otoritas  hadits  sebagai
sumber kedua penetapan hukum Islam. Di negara kita, ada  suatu
golongan  yang  menanamkan  dirinya  kaum  "Inkar  al-Sunnah".
Karena sikap mereka menolak  perlunya  kaum  muslim  berpegang
pada  sunnah,  maka  golongan  ini menjadi sasaran kritik para
ulama dan tokoh Islam.
Pada banyak kasus mungkin  terjadi  semacam  kekacauan  akibat
kecenderungan  masyarakat  untuk menyamakan begitu saja antara
sunnah dan hadits. Sudah jelas, di  antara  keduanya  terdapat
jalinan  yang  erat, namun sesungguhnya tidaklah identik. Yang
pertama  (sunnah)  mengandung  pengertian  yang   lebih   luas
daripada  yang  kedua  (hadits).  Bahkan dapat dikatakan bahwa
sunnah mengandung makna yang lebih prinsipil daripada  hadits.
Sebab  yang disebutkan sebagai sumber kedua sesudah Kitab Suci
al-Qur'an  ialah  sunnah,  bukan  hadits,  sebagaimana  sering
dituturkan  tentang  adanya sabda Nabi saw. "Aku tinggalkan di
antara kalian dua perkara, yang kamu tidak akan  sesat  selama
berpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan sunnah RasulNya."
Tapi  sekarang  ini  sunnah  memang tidak dapat dibedakan dari
hadits, demikian  pula  sebaliknya.  Jika  seseorang  menyebut
"sunnah"   maka   dengan  sendirinya  akan  terbayang  padanya
sejumlah kitab koleksi sabda Nabi.  Yang  paling  terkenal  di
antaranya  ialah  dua kitab koleksi oleh al-Bukhari dan Muslim
(disebut al-Shahihayn, "Dua Yang Sahih"), dan yang  lengkapnya
meliputi  pula  kitab-kitab koleksi oleh Ibn Majah, Abu Dawud,
al-Turmudzi dan  al-Nasa'i.  Tapi  sebelum  mereka  sudah  ada
seorang  kolektor  hadits  yang  amat kenamaan dan berpengaruh
besar yaitu sarjana dan pemikir dari Madinah, Malik  Ibn  Anas
(pendiri madzhab Maliki, wafat 179 H.) yang menghasilkan kitab
hadits al-Muwaththa'.
Berdasarkan sabda Nabi tentang Kitab dan sunnah di atas,  pada
prinsipnya  sikap  ingkar  pada sunnah tidak dapat dibenarkan.
Tapi  ingkar  kepada  hadits,  sekalipun  jelas  tidak   dapat
dilakukan secara umum tanpa penelitian tentang hadits tertentu
mana yang dimaksud,  telah  terjadi  dalam  kurun  waktu  yang
panjang  pada  golongan-golongan  tertentu  Islam seperti kaum
Mu'tazilah.  Oleh  karena  dampak  masalah  ini  dalam   usaha
penetapan  hukum  (tasyri')  sangat  besar  dan  penting, maka
kajian kesejarahan tentang evolusi  pengertian  sunnah  --yang
diungkapkan Nabi meski secara tersirat-- diharapkan akan dapat
membantu    memperjelas    persoalan.    Perjalanan    sejarah
perkembangan  dan  perubahan  itu  sendiri  cukup  panjang dan
rumit. Tapi jika kita berhasil melepaskan diri dari dogmatisme
yang  menerima begitu saja pengertian-pengertian mapan tentang
apa yang terjadi di masa lampau, maka dari celah-celah sejarah
itu  kita  akan  dapat  menarik "benang merah" yang memberikan
kejelasan tentang perkembangan dan perubahan itu.
PENGERTIAN SUNNAH
Sunnah  lebih  luas  daripada  hadits,  termasuk  yang  sahih.
Berarti,  sunnah  tidak  terbatas hanya pada hadits. Sekalipun
pengertian ini cukup jelas, namun masih juga sering mengundang
kekaburan.  Memang,  antara sunnah dan hadits terbentang garis
kontinuitas yang tidak terputus, namun mencampuradukkan antara
keduanya tidak dapat dibenarkan.,
Jika disebutkan oleh Nabi bahwa sunnah merupakan pedoman kedua
setelah Kitab Suci bagi kaum muslim dalam memahami agama, maka
sesungguhnya  Nabi  hanya  menyatakan sesuatu yang amat logis.
Yaitu, dalam memahami agama dan melaksanakannya,  orang  Islam
tentu  pertama-tama  harus  melihat  apa  yang ada dalam Kitab
Suci, kemudian, kedua, harus  mencari  contoh  bagaimana  Nabi
sendiri  memahami dan melaksanakannya. Sebab, Nabi-lah sebagai
utusan Tuhan, yang secara logis paling  paham  akan  apa  yang
dipesankan Tuhan pada manusia melalui beliau, juga yang paling
tahu bagaimana melaksanakannya. Pengertian lain yang menyalahi
hal itu mustahil dapat diterima.
Pemahaman  Nabi  terhadap  pesan  atau wahyu Allah itu teladan
beliau dalam melaksanakannya membentuk "tradisi" atau "sunnah"
kenabian (al-sunnah al-Nabawiyyah). Sedangkan hadits merupakan
bentuk reportase atau penuturan tentang  apa  yang  disebabkan
Nabi  atau  yang  dijalankan dalam praktek tindakan orang lain
yang "didiamkan" beliau (yang dapat  dapat  diartikan  sebagai
"pembenaran").  Itulah  makna  asal kata hadits, yang sekarang
ini definisinya makin luas batasannya dan komprehensif.  Namun
demikian,   tidak   berarti  bahwa  hadits  dengan  sendirinya
mencakup seluruh sunnah.
Jika sunnah merupakan keseluruhan  perilaku  Nabi,  maka  kita
dapat  mengetahui  dari  sumber-sumber  yang  selama ini tidak
dimasukkan sebagai  hadits,  seperti  kitab-kitab  sirah  atau
biografi Nabi. Sebab, dalam lingkup sunnah sebagai keseluruhan
tingkah laku Nabi,  harus  dimasukkan  pula  corak  dan  ragam
tindakan  beliau,  baik sebagai pribadi maupun pemimpin. Dalam
kedudukan beliau sebagai  pemimpin  itulah  Kitab-kitab  sirah
banyak memberi gambaran.
Di antara kitab-kitab sirah, termasuk yang sangat dini ditulis
ialah Sirah Ibn Ishaq yang kemudian disunting oleh Ibn  Hisyam
(berturut-turut  wafat pada tahun 151 dan 219 Hijri). Meskipun
wafat di Baghdad, Ibn Ishaq lahir di Madinah  (pada  tahun  85
H),  dan tumbuh sebagai sarjana terkemuka di kota Nabi. Dan ia
telah mengumpulkan bahan untuk kitab sirah-nya  beberapa  lama
sebelum usaha-usaha pengumpulkan hadits.
Sebelum  Ishaq,  telah  muncul  berbagai  karya  tulis tentang
riwayat  peperangan  Nabi  yang  lazim   disebut   kitab-kitab
al-Maghazi.   Kitab-kitab   itu,  bersama  dengan  kitab-kitab
biografi Nabi yang lain amat penting, karena  memuat  gambaran
tentang perjalanan hidup Nabi khususnya dalam kapasitas beliau
sebagai pemimpin. Maka, kitab-kitab itu juga merupakan  sumber
yang baik untuk memahami sunnah, khususnya, jika yang dimaksud
selain tindakan-tindakan Nabi atau sabda beliau yang  bersifat
terpisah dan ad hoc seperti umumnya tema catatan hadits. Dalam
sejarah terbukti bahwa pembacaan biografi Nabi, khususnya yang
berkaitan dengan riwayat peperangan beliau yang dikena sebagai
al-Maghazi   tersebut,   berhasil    membangkitkan    semangat
perjuangan  Islam,  karena  ilham  teladan  baik  dari beliau.
Inilah  "eksperimen"  Sultan  Shalah  al-Din  al-Ayyubi  dalam
menghadapi tentara Salib, yang ternyata berhasil gemilang. Dan
dengan  "eksperimen"  itu  pemimpin  Islam  dari  Mesir   yang
kemudian   terkenal   dengan   sebutan  "Sultan  Saladin"  itu
mewariskan pada Umat Islam seluruh dunia tradisi Maulid, yaitu
upacara  memperingati  kelahiran  Nabi  dengan membaca riwayat
hidup beliau.
Sunnah  Nabi   harus   pula   dipahami   sebagai   keseluruhan
kepribadian Nabi dan akhlak beliau, yang dalam kepribadian dan
akhlak beliau disebutkan dalam Kitab Suci sebagai teladan yang
baik   (uswah  hasanah)  bagi  kita  semua  "yang  benar-benar
berharap pada Allah pada Hari  Kemudian,  serta  banyak  ingat
kepada Allah"   (Q.S.   al-Ahzab  33:32).    Dan  beliau  juga
dilukiskan dalam Kitab Suci  sebagai  seorang  yang  berakhlak
amat  mulia  (Q.S. al-Qalam 68:4). Dengan demikian Nabi, dalam
hal ini tingkah laku dan kepribadian  beliau  sebagai  seorang
yang  berakhlak  mulia,  menjadi  pedoman  hidup kedua setelah
Kitab Suci bagi seluruh kaum beriman.
Tetapi justru karena itu maka memahami sunnah Nabi tidak dapat
lepas  dari  memahami  Kitab  Suci sendiri. Sebab sesungguhnya
akhlak Nabi yang mulia itu tidak lain  adalah  semangat  Kitab
Suci  al-Qur'an  itu  sendiri, sebagaimana dilukiskan A'isyah,
isteri beliau. Dari Kitab Suci kita  mengetahui  lebih  banyak
perkembangan  kepribadian  Nabi  yang menggambarkan pengalaman
Nabi, baik yang menyenangkan atau tidak,  yang  keseluruhannya
menampilkan   sosok   Nabi  yang  berkeprlbadian  mulia.  Dari
pengamatan atas  gambaran  itu  kita  dapat  memperoleh  ilham
tentang  peneladanan  pada  beliau,  dan  keseluruhan  sasaran
peneladanan itu tidak lain ialah sunnah nabi. Sebagai  contoh,
dua  surat yang termasuk paling banyak dibaca dalam sembahyang
dapat kita renungkan maknanya di sini:
Demi pagi yang  cerah  dan  demi  malam  ketika  telah  kelam.
Tidaklah  Tuhanmu  meninggalkan  engkau  (Muhammad), dan tidak
pula murka. Dan  pastilah  kemudian  hari  lebih  baik  bagimu
daripada  yang  sekarang  ada.  Dan juga pastilah Tuhanmu akan
menganugerahimu, maka kamu akan lega. Bukankah Dia mendapatimu
yatim,   kemudian   Dia  melindungimu?!  Dan  Dia  mendapatimu
bingung,  kemudian  Dia  membimbingmu?!  Dan  Dia  mendapatimu
miskin,  kemudian  Dia  memperkayamu?! Maka kepada anak yatim,
janganlah  engkau  menghardik!   Dan   kepada   peminta-minta,
janganlah  kamu  membentak!  Sedangkan berkenaan dengan nikmat
karunia Tuhanmu, engkau harus nyatakan! (QS. al-Dluha 93:1-11)
Bukankah Kamu  telah  lapangkan  dadamu?!  Dan  Kami  bebaskan
bebanmu,  yang  memberati  punggungmu?!  Serta  Kami  muliakan
namamu?!  Sebab  sesunggahnya  bersama  kesulitan  tentu   ada
kemudahan!  Maka jika engkau bebas, kerja keraslah! Dan kepada
Tuhanmu, senantiasa berharaplah! (QS. al-Syarh 94:1-8)
Para ahli hampir semuanya sepakat bahwa surat  al-Dluha  turun
kepada  Nabi berkenaan dengan peristiwa terputusnya wahyu yang
relatif panjang, sehingga menimbulkan ejekan dan sinisme  kaum
musyrik  Makkah  bahwa Tuhan telah meninggalkan Nabi dan murka
kepadanya.  Dari  latar  belakang  turunnya,  surat  ini  juga
menggambarkan  tentang  suatu  dinamika  pengalaman Nabi dalam
perjuangan beliau, sehingga seperti dikatakan  Sayyid  Quthub,
Allah  menghibur  beliau  dan memberinya dorongan moril, bahwa
Allah samasekali tidak  meninggalkan  beliau  dan  tidak  pula
murka.
 IMPLIKASI SUNNAH SEBAGAI KOREKSI HADITSDALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH Allah  juga  mengingatkan  Nabi  bahwa  masa  mendatang  lebihpenting daripada masa sekarang. Dalam terjemah kontemporernya,Allah  mengingatkan Nabi bahwa perjuangan jangka panjang, yangstrategis lebih penting  daripada  pengalaman  jangka  pendek,yang  taktis.  Oleh  karena itu hendaknya Nabi tidak putus asaatau kecil hati  oleh  pengalaman  kekecewaan  jangka  pendek.Sebab, perjuangan besar selalu memerlukan waktu untuk mencapaihasil dan semakin besar nilai suatu  perjuangan  maka  semakinpanjang  pula  dimensi  waktu  yang  diperlukannya.  Dan dalamjangka panjang itulah,  selama  perjuangan  diteruskan  denganpenuh  kesabaran  dan harapan, Allah menjanjikan untuk memberikemenangan yang bakal membuat beliau  puas  dan  lega.  (JanjiTuhan  ini  kelak  ternyata  terbukti  dan  terlaksana, berupakemenangan demi kemenangan yang diraih Nabi setelah hijrah  keMadinah,  dan  beliau  pun  wafat memenuhi panggilan menghadapAllah dalam keadaan menang dan sukses luar biasa). Serentak dengan itu semua Allah juga  mengingatkan  akan  masalampau  Nabi  yang penuh kesusahan seperti keadaan beliau yangyatim-piatu, bingung tentang apa yang  hendak  dilakukan,  danmiskin,  dan  bagaimana Allah telah menunjukkan kasih-Nya padabeliau dengan memberi kemampuan mengatasi kesusahan itu semua.Dan  berdasarkan  latar  belakang itu maka Allah berpesan agarNabi janganlah sampai menghardik  anak-yatim,  atau  membentakpeminta-minta,  dan  selalu  ingat  dengan  penuh  syukur akannikmat karunia Tuhan. Berkenaan dengan surat al-Syarh, para  ahli  mengatakan  bahwawahyu itu turun kepada Nabi masih dalam kaitannya dengan suratal-Dluha, bahkan  merupakan  kelanjutannya.  Dalam  surat  iniAllah  menegaskan  bagaimana  Dia  telah  membuat Nabi sebagaiseorang yang lapang dada  (munsyarih  al-shadr),  dan  membuatsemua  beban  terasa ringan bagi beliau. Juga diingatkan bahwaAllah telah membuat terhormat nama Nabi dan dijunjung  tinggi,berkat  perjuangan  beliau  dan  kebajikan yang ditegakkannya.Lalu  Allah  menegaskan  bahwa  setiap  kesulitan  tentu  akanmembawa   kemudahan;   bahwa   amal   usaha  tentu  mengandungkesulitan, namun hasil perjuangan itu di kemudian  hari  tentuakan  membawa  kebahagiaan.  Maka  dari  itu setiap kesempatanharus  digunakan  untuk   kerja   keras,   sambil   senantiasamengarahkan diri kepada Allah, dengan penuh harapan kepadaNya. Jadi,  seperti  telah diutarakan, dari kedua surat pendek yangbanyak dibaca dalam  shalat  itu  dapat  disimpulkan  gambarandinamika  kepribadian  Nabi  berhubung dengan pengalaman hidupperjuangan beliau. Jika kita renungkan lebih mendalam gambaranitu, maka sesungguhnya dinamika pengalaman hidup Nabi tersebutadalah universal, dalam arti dapat terjadi  dan  dialami  olehsiapa  saja  dari  kalangan  manusia yang mempunyai tekad ataukomitmen pada cita-cita luhur.  Oleh  karena  itu  sikap-sikapyang  telah  ditunjukkan  oleh Nabi sebagaimana tersimpul darikedua surat pendek itu akan  melengkapi  kaum  beriman  dengancontoh  nyata  dalam  menghadapi problema kehidupan. Dari situkita paham  sebuah  sunnah  Nabi,  dan  dari  situ  pula  kitamengerti  suatu  aspek  makna  firman  Allah  bahwa  pada diriRasulullah terdapat  teladan  yang  baik  bagi  kaum  beriman.Akhlak  serta kepribadian yang menjadi sunnah Nabi, yang dapatdisimpulkan dari kedua surat itu adalah kurang lebih demikian:   1.Sikap senantiasa berpengharapan kepada Allah      2.Sadar akan perjuangan jangka panjang,      3.Yakin akan kemenangan akhir      4.Ingat akan latar belakang diri di masa lalu dan bagaimana    semua kesulitan teratasi      5.Rasa kasih sayang kepada sesama manusia yang kurang    beruntung      6.Senantiasa bersyukur pada Allah atas segala nikmat    karunia-Nya,   7.Bersikap lapang dada      8.Memikul beban tanggungjawab dengan penuh kerelaan      9.Tidak kecil hati karena kesulitan, sebab yakin akan masa    datang yang lebih baik     10.Menggunakan setiap waktu luang untuk kerja-kerja produktif     11.Tetap berorientasi kepada Allah, asal dan tuduan semua yang Firman Allah yang memberi gambaran dinamika  kepribadian  Nabisebagai uswah hasanah dalam al-Qur'an cukup banyak. Pengkajianterhadap firman-firman itu akan  memberi  gambaran  yang  utuhtentang  siapa  Nabi  dan  bagaimana garis besar sepak terjangbeliau dalam hidup beliau baik sebagai pribadi maupun  sebagaiUtusan Ilahi. Kita dapat mendekteksi dinamika kepribadian Nabiitu dari firman-frman yang  ditunjukkan  khusus  kepada  Nabi,seperti  diindikasikan  oleh  penggunaan  kata  pengganti nama"engkau"  dalam  suatu  format   dialog   antara   Tuhan   danUtusan-Nya. Jadi   sunnah  Nabi,  khususnya  segi-segi  yang  dinamik  danmendasar,  dapat  lebih  banyak  diketahui  dari  Kitab   Sucidaripada  dari  kumpulan kitab hadits. Meskipun banyak laporandalam kitab-kitab hadits yang juga  memberi  gambaran  tentangtingkah  laku atau kepribadian Nabi, namun umumnya bersifat adhoc terkait erat  dengan  tuntutan  khusus  ruang  dan  waktu.Sedangkan yang ada dalam al-Qur'an, sekalipun dituturkan dalamkaitan dengan ruang dan waktu  atau  pengalaman  khusus  Nabi,namun  ajaran  moral  di  balik cerita selalu bersifat dinamiksehingga dapat dengan mudah diangkat pada tingkat  generalitasyang  tinggi,  dengan  demikian bernilai universal. Karena itusunnah Nabi  sebenarnya  tidak  terbatas  hanya  pada  hadits,meskipun hadits (yang sahih) memang termasuk sunnah. PERGESERAN PENGERTIAN SUNNAH KE HADITS Di atas telah dikemukakan adanya kelompok-kelompok kaum muslimyang  sangat  meragukan  otentisitas  dan  otoritas   kumpulanhadits.  Mereka  sebenarnya  tidak  mengingkari sunnah, karenaingkar pada sunnah Nabi adalah mustahil bagi  seorang  muslim.Tetapi  mereka  ini  dapat  disebut  sebagai  golongan "IngkarHadits" (sebutlah "Inkar al-Hadits").  Menurut  Dr.  Mushthafaal-Siba'i,  seorang  pembela  paham Sunni yang bersemangat danmantan  dekan  Fakultas  Syari'ah  Universitas  Syiria,  sertaseorang tokoh pembina gerakan al-Ikhwan al-Muslimun di Syiria,golongan Ingkar Hadits itu terdapat di mana-mana  dalam  duniaIslam, dari dahulu sampai sekarang. Sangat  menarik jalan pikiran seorang tokoh yang ingkar haditsitu di zaman modern, yang disebutkan  oleh  al-Siba'i  sebagaicontoh,  dan  yang  dinilainya banyak membuka pintu bagi oranglain sesudahnya untuk juga bersikap ingkar pada hadits.  Tanpamenyebut  namanya  secara  jelas, al-Siba'i mengutip tokoh ituyang  pandangannya  pernah  dimuat   oleh   majalah   al-Manarpimipinan  Sayyid  Muhammad  Rashyid Ridla. Tokoh itu sendiri,menurut  Mushthafa  al-Siba'i,  adalah  seorang  muslim   yangbergairah,  yang  telah  tampil membela Islam dengan cara yangmengagumkan. Tapi pandangannya yang  menolak  otoritas  haditstelah menimbulkan heboh di kalangan para ulama al-Azhar. Secara  ringkas,  menurut  al-Siba'i,  pandangan  mereka  yangmenolak hadits ialah bahwa Islam hanyalah al-Qur'an saja,  danbahwa  Kitab  Suci  merupakan  satu-satunya  sumber  penetapansyari'ah disebabkan kepastian otentisitasnya. Sedangkan sunnah(yang  dimaksud  tentunya  hadits)  mengandung  keraguan dalamkeabsahannya sebagai sumber argumen  (hujjah)  karena  terjadipenambahan-penambahan   padanya,   dan  karena  adanya  banyakkontradiksi dalam sebagian cukup besar  nash-nash-nya.  Merekamendasarkan pandangan itu pada hal-hal berikut:  1.Allah telah menegaskan "Tidak ada satu perkarapun   yang Kami abaikan dalam Kitab Suci (Q.S. Al-An'am   6:38). Ini menjelaskan bahwa Kitab Suci telah mencakup   seluruh prinsip penetapan syari'ah, sehingga tidak lagi   ada peran bagi sunnah (hadits) untuk menatapkan hukum   dan membuat syari'ah.    2.Allah menjamin pemeliharaan al-Qur'an dari kesalahan,   sebagaimana difirmankan, "Sesungguhnya Kami benar-benar   telah menurunkan pelajaran, dan sesungguhnyalah Kami   yang memelihara-Nya" (Q.S. al-Hijr 15:9). Tuhan tidak   menjamin pemeliharaan sunnah (hadits), sehingga masuk   ke dalamnya penambahan dan pemalsuan. Kalau seandainya   hadits termasuk sumber penetapan syari'ah, tentulah   Tuhan memeliharanya untuk kepentingan para hamba-Nya   dari kemungkinan penyelewengan dan perubahan   sebagaimana Dia telah memelihara Kitab Suci-Nya.    3.Sunnah (hadits) belum dibukukan di zaman Nabi saw.,   bahkan secara otentik diceritakan bahwa beliau melarang   membukukannya. Hadits juga belum dibukukan di zaman   al-Khulafa al-Rasyidun, dan kebanyakan tokoh besar para   sahabat Nabi serta para Tabi'un seperti 'Umar, Abu   Bakr, 'Alqamah, 'Ubaydah, al-Qasim Ibn Muhammad,   al-Sya'bi, al-Nakha'i, dll., menunjukkan sikap tidak   suka pada usaha membukukannya. Pembukuan hadits baru   dimulai pada akhir abad pertama, dan selesai   pengumpulan dan koreksinya pada pertengahan abad   ketiga. Ini adalah jangka waktu yang cukup panjang   untuk menimbulkan keraguan tentang keabsahan teks-teks   hadits, dan hal itu dengan sendirinya menempatkan   sunnah pada tingkat dugaan (martabat al-dhann) belaka,   sedangkan dugaan tidak dapat menghasilkan hukum syar'i,   karena Allah berfirman, "Sesungguhnya dugaan tidak   sedikit pun menghasilkan kebenaran" (Q.S. al-Najm   52:28).    4.Terdapat penuturan dari Nabi saw. bahwa beliau   bersabda "Sesungguhnya hadits akan memancarkan dari   diriku. Apapun yang sampai kepadamu sekalian dan   bersesuaian dengan al-Qur,an, ia berasal dari diriku;   dan apapun yang sampai kepadamu dan menyalahi   al-Qur'an, ia tidak berasal dariku." [1] Dalam kutipan al-Siba'i tentang argumen orang yang ingkar padahadits  itu  disebutkan  bahwa  pembukaan  hadits dimulai padaakhir abad pertama Hijri, dan rampung  pada  pertengahan  abadketiga.   Mungkin   yang  dimaksudkan  ialah  adanya  doronganpembukuan hadits oleh Khalifah 'Umar Ibn 'Abd al-'Aziz (w. 102H.)  dari  Bani  Umayyah. Khalifah ini terkenal dengan sebutankehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan  pengakuan  bahwa  iaadalah  pelanjut  kekhalifahan  'Umar  Ibn  al-Khaththab  yangbijakbestari. Maka banyak kalangan kaum Muslim yang  memandang'Umar  II sebagai anggota kelima dari al-Khulafa, al-Rasyidun,sesudah 'Ali Ibn Abi Thalib. 'Umar II memerintahkan seorang sarjana terkenal, Syihab al-Dinal-Zuhri  (w.  124  H)  untuk meneliti dan membuktikan tradisiyang hidup di kalangan penduduk  Madinah,  Kota  Nabi,  karenakeyakinan  'Umar  II  bahwa  tradisi  itu merupakan kelanjutanlangsung pola kehidupan masyarakat Madinah di zaman Nabi, jikabukannya  malah  merupakan  wujud  historis yang kongkret dari"tradisi" atau "sunnah" Nabi sendiri. Dari sudut analisa politik, tindakan 'Umar II ini adalah untukmenemukan  dan  mengukuhkan  landasan pembenaran bagi ideologiJama'ah-nya, yang  dengan  ideologi  itu  ia  ingin  merangkulseluruh  kaum  Muslim  tanpa  memandang  aliran  politik  ataupemahaman keagamaan mereka, termasuk kaum Syi'ah dan  Khawarijyang  merupakan  kaum  oposan terhadap rezim Umayyah. 'Umar IImelihat bahwa sikap yang  serba  akomodatif  pada  semua  kaummuslim  tanpa  memandang  aliran  politik atau paham keagamaankhasnya itu telah diberikan contohnya oleh  penduduk  Madinah,di  bawah ke kepeloporan tokoh-tokohnya seperti 'Abd-Allah ibn'Umar (Ibn al-Khaththab), 'Abd-Allah Ibn 'Abbas dan 'Abd-AllahIbn  Mas'ud.  Jadi, dalam pandangan 'Umar II, sikap yang serbainklusifistik sesama kaum muslim itu merupakan "tradisi"  atau"sunnah"  historis  penduduk  Madinah, dan dengan begitu, jugamerupakan kelanjutan yang sah  dari  "tradisi"  atau  "sunnah"Nabi.  Maka  penelitian dan pembukaan tentang tradisi pendudukMadinah  akan   dengan   sendirinya   menghasilkan   pembukaan"tradisi"  atau  "sunnah" Nabi. Selanjutnya, "sunnah" itu akanmemberi landasan  legitimasi  bagi  idenya  tentang  persatuanseluruh  umat  Islam  dalam  "Jama'ah"  yang  serba  mencakup.Berdasarkan latar belakang inilah maka ideologi 'Umar II kelakdisebut   sebagai   paham   "sunnah   dan  jama'ah"  dan  parapendukungnya disebut ahl  al-sunnah  wa  al-Jama'ah  (golongansunnah dan jama'ah). Mushthafa   al-Siba'i   amat  menghargai  kebijakan  'Umar  IIberkenaan  dengan   pembukaan   sunnah   itu,   sekalipun   iamenyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak memberiangin pada kaum Syi'ah dan Khawarij (karena,  dalam  pandanganal-Siba'i,  golongan  oposisi  itu kemudian mampu memobilisasidiri sehingga, dalam kolaborasinya dengan kaum Abbasi,  merekaakhirnya  mampu  meruntuhkan  Dinasti Umayyah dan melaksanakanpembalasan dendam yang sangat kejam). Dan, menurut  al-Siba'i,sebelum  masa  'Umar  II  pun sebetulnya sudah ada usaha-usahapribadi untuk mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh 'AbdAllah Ibn 'Amr Ibn al-'Ash. [2] Tapi,  sesungguhnya,  pembukuan  hadits  secara sistematis dankritis dan dalam skala besar serta  pada  tingkat  kesungguhanyang   tinggi  baru  dimulai  pada  awal  abad  ketiga  dengantampilnya Iman al-Syafi'i (w. 204  H),  dan  baru  benar-benarrampung   pada  awal  abad  keempat  Hijri,  dengan  tampilnyaal-Nasa'i (w. 303 H). Imam  al-Syafi'i  adalah  tokoh  pemikirpeletak  sebenarnya  teori  ilmiah pengumpulan dan klasifikasihadits. Teori dan metodenya kemudian diterapkan  dengan  setiaoleh  al-Bukhari  (w.  256  H), lalu diteruskan berturut-turutoleh Muslim (w. 261 H), Ibn Majah (w.273 H), Abu Dawud  (w.275H),  al-Turmudzi  (.w.  279 H) dan terakhir, al-Nasa'i (w. 303H). Koleksi mereka berenam itulah yang  kelak  disebut  "Kitabyang   Enam"   (al-Kutub   al-Sittah).  Akibatnya,  pengertian"sunnah" pun kemudian menjadi hampir  identik  dengan  koleksihadits dalam "Kitab yang Enam" itu. IMPLIKASI SUNNAH SEBAGAI KOREKSI HADITSDALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH Fakta historis  tersebut  di  atas  menunjukkan  bahwa  prosespengumpulan  hadits  berlangsung  selama satu abad atau lebih,dimulai sejak  sekitar  dua  abad  setelah  Nabi  dan  rampungsekitar  tiga abad setelah Nabi. Sesudah masa itu memang masihterdapat usaha  pengumpulan  sisa-sisa  hadits  oleh  beberapapribadi,   namun  sudah  tidak  lagi  banyak  berarti.  Selaindasar-dasar pertimbangan yang berasal dari al-Qur'an dan pesanNabi  sendiri  --menurut  pengertian yang dipegang oleh merekayang ingkar hadits-- masa kodifikasi dan seleksi  hadits  yangdemikian  lama  sesudah  masa  Nabi  dan  yang  memakan  waktudemikian panjang merupakan dasar sikap mereka  yang  meragukanotoritas hadits. Sebagaimana  telah  dikutip  kembali dari keterangan (kutipan)Mushthafa  al-Siba'i,  dasar-dasar  argumen  menolak  otoritashadits secara ringkasnya adalah sebagai berikut:  1.Keseluruhan ajaran Islam cukup berdasarkan pada   al-Qur'an saja, karena telah menegaskan bahwa Kitab   Suci itu telah memuat segala sesuatu.    2.Allah menjamin terpeliharanya al-Qur'an, tapi tidak   menjamin hal serupa untuk Hadits.    3.Nabi melarang, sekurangnya menghalangi, penulisan   hadits di masa beliau, demikian pula para sahabat dan   para Tabi'un terkenal.    4.Nabi menegaskan agar orang menerima hadits hanya yang   benar-benar bersesuaian dengan al-Qur'an, dan menolak   yang lain. Dr. Musthafa  al-Siba'i,  seorang  pembela  paham  Sunni  yangtegar,   dengan   tandas   menolak  argumen-argumen  itu.  Diamenyatakan:  1.Memang benar Kitab Suci memuat segala sesuatu, tapi   hanya dalam garis besar saja.    2.Yang disebut bakal dijamin terpelihara dari usaha   pengubahan tidak hanya pada al-Qur'an tapi juga   meliputi sunnah, dalam hal ini hadits. Sunnah dan   hadits tetap terpelihara, melalui sistem hafalan kaum   muslim Arab yang memang terkenal memiliki kemampuan   menghafal yang amat kuat (sebagai akibat pengembangan   bahasa Arab yang amat tinggi namun tidak banyak   bersandar pada penggunaan tulisan).    3.Pencegahan Nabi dan para pembesar sahabat dan Tabi'un   dari usaha membukukan hadits terjadi karena kekuatiran   akan tercampur dengan teks-teks al-Qur'an yang saat itu   kodifikasi resminya belum mapan di kalangan umat,   disebabkan sedikitnya mereka yang ahli baca-tulis.   Pencegahan itu hanya menyangkut usaha pembukuan resmi.   Sedangkan yang tidak resmi dan sebagai catatan pribadi,   beberapa sahabat telah melakukannya.  4.Keabsahan hadits yang menjadi landasan argumen   keempat di atas diragukan oleh para ahli. Dan jika   benar pun, maknanya adalah sangat wajar, yaitu bahwa   kita harus menerima hadits hanya yang sejalan dengan   al-Qur'an. Justru para ulama semuanya sepakat bahwa, Hadits  yang  sahih,   meskipun   menetapkan   ajaran   secaratersendiri, tidak ada yang bertentangan dengan al-Qur'an. Pembelaan  al-Siba'i  atas  sunnah sebagai hadits itu mewakilipandangan yang sangat umum di kalangan para  ulama.  Namun  iatidak  memberi  kejelasan  tentang  bagaimana  efek  kenyataansejarah bahwa untuk sampai pada koleksi dan kodifikasi  haditsseperti  sekarang  ini  proses-proses  yang  amat  sulit harusdilewati, khususnya proses pemisahan mana dari laporan-laporanhadits  itu  otentik  dan  yang  palsu. masih tetap diperlukanadanya argumen yang kukuh dan mendasar untuk  pandangan  bahwaklasifikasi  yang  ada  sekarang adalah terpercaya, atau sudahtidak lagi memerlukan peninjauan kembali. Batu  penarung  bagipandangan  ini  ialah  kenyataan bahwa zaman sekarang ditandaidengan  mudahnya  diperoleh  bahan  bacaan  di  semua  bidang,termasuk  bidang-bidang  yang  dapat dijadikan landasan kajianperbandingan ilmu kritik hadits, baik dari segi  metodologinyamaupun  dari  segi  hasil-hasil yang telah dicapai. Karena itupada zaman sekarang akan lebih mudah bagi mereka yang berminatsecara khusus untuk meneliti kembali hadits-hadits dan membuatklasifikasi  baru  tentang  sahih-tidaknya   matan-matan   danriwayat-riwayat  yang  ada.  Sebenarnya  hal ini dapat sekedarmerupakan pengulangan atau penerapan kembali  metodologi  Imamal-Bukhari,    tapi    dengan    dibantu    oleh    penggunaankemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh  zaman  modern,  baikdari  segi  perangkat kerasnya (material dan bahan bacaan yangtersedia) maupun perangkat lunaknya (metodologi kritiknya). Imam al-Bukhari  sendiri  sekedar  meneruskan  dan  menerapkandengan  setia  teori  dan  prinsip-prinsip  riset  hadits yangdiletakkan oleh Imam  al-Syafi'i.  Dorongan  untuk  meletakkanteori dan metodologinya itu ialah keprihatinan al-Syafi'i olehadanya   kekacauan   dan   berkecamuknya    usaha    pemalsuanlaporan-laporan  hadits  di zamannya, yang laporan-laporan itusendiri  semula  dan  kebanyakan  bergaya  anekdotal   tentanggenerasi Islam yang telah lewat, mencakup tentang Nabi sendiridan para sahabat.  Karena  itu  hadits  juga  disebut  Khabar,Akhbar,   Riwayah,   Atsar,  dan  lain-lain,  yang  kesemuanyamenunjukkan sisa pengertiannya yang  mula-mula,  yaitu  kabar,berita,  penuturan,  peninggalan,  dan  lain-lain.  Maka  yangdilakukan  al-Syafi'i  mempunyai  nilai  yang  sungguh  besar,dengan  pengaruh  yang  sampai sekarang dirasakan oleh seluruhumat Islam. Tapi yang telah dilakukan  oleh  imam  al-Syafi'i  jauh  lebihbanyak  daripada  sekedar  meletakkan  dasar-dasar  metodologipenelitian hadits.  Tokoh  pendiri  madzhab  yang  penganutnyabanyak  di  negeri  kita  ini juga diakui jasanya sebagai yangmeletakkan dasar-dasar  metodologi  penetapan  syari'ah,  yangjustru  terasa  semakin  relevan dengan keadaan zaman sekarangini. Menurut Marshall Hodgson --yang dapat kita anggap sebagaiseorang  peninjau  netral dan cukup jujur-- al-Syafi'i berjasasebagai seorang sarjana yang dengan penuh kesadaran meletakkanprinsip  adanya pertimbangan historis bagi penetapan syari'ah.Hal itu  tercermin  dalam  konsepnya  tentang  nasikh-mansukh,yaitu konsep yang memandang kemungkinan suatu hukum dihapuskanoleh  hukum  yang  lain   dalam   Islam,   disebabkan   adanyapertimbangan  baru  berkenaan  dengan lingkungan (dharf), baiklingkungan ruang  (dharf  al-makan)  maupun  lingkungan  waktu(dharf al-zaman). [3] Berdasarkan  metodologid  al-Syafi'i  itu maka terkenal sekalirumus hukum Islam yang mengatakan  bahwa  hukum  berubah  olehperubahan  zaman  dan  tempat. Terutama perubahan zaman, semuaulama sepakat bahwa hal itu tidak dapat dielakkan akan membawaperubahan  hukum.  Prinsip  ini  tercermin  dalam  dua kalimatrumusannya dalam bahasa Arab, [Tulisan Arab] yang artinya, "Perubahan hukum  oleh  perubahan  zaman.  Tidakdapat diingkari perubahan hukum oleh perubahan zaman). [4] Untuk  dapat  melaksanakan  prinsip  amat penting itu tidaklahmudah.  Salah  satu  yang  mesti  diperlukan  ialah  kemampuanmenangkap "pesan zaman", sehingga suatu hukum dapat diterapkansecara efektif karena relevan  dengan  pesan  zaman  itu.  Iniberarti  juga  menuntut  kemampuan  membuat  generalisasi atauabstraksi dari hukum-hukum yang  ada  menjadi  prinsip-prinsipumum   yang   berlaku  untuk  setiap  zaman  dan  tempat.  Danberlakunya suatu prinsip untuk segala zaman dan tempat  adalahberarti  kemestian  memberi  peluang  pada  prinsip  itu untukdilaksanakan secara teknis dan kongkret menurut tuntutan ruangdan  waktu.  Karena  ruang  dan  waktu  berubah, maka tuntutanspesifiknya pun  tentu  berubah,  dan  ini  membawa  perubahanhukum.   Maka  yang  berubah  bukanlah  prinsipnya,  melainkanpelaksanaan teknis dan kongkret  hukum  itu  dalam  masyarakattertentu dan masa tertentu.

0 komentar:
Posting Komentar