pengertian sunah

III.19. PERGESERAN PENGERTIAN "SUNNAH" KE "HADITS" (1/3)
IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH
oleh Nurcholish Madjid

Dalam masyarakat Islam di beberapa negara terdapat
kelompok-kelompok yang meragukan otoritas hadits sebagai
sumber kedua penetapan hukum Islam. Di negara kita, ada suatu
golongan yang menanamkan dirinya kaum "Inkar al-Sunnah".
Karena sikap mereka menolak perlunya kaum muslim berpegang
pada sunnah, maka golongan ini menjadi sasaran kritik para
ulama dan tokoh Islam.

Pada banyak kasus mungkin terjadi semacam kekacauan akibat
kecenderungan masyarakat untuk menyamakan begitu saja antara
sunnah dan hadits. Sudah jelas, di antara keduanya terdapat
jalinan yang erat, namun sesungguhnya tidaklah identik. Yang
pertama (sunnah) mengandung pengertian yang lebih luas
daripada yang kedua (hadits). Bahkan dapat dikatakan bahwa
sunnah mengandung makna yang lebih prinsipil daripada hadits.
Sebab yang disebutkan sebagai sumber kedua sesudah Kitab Suci
al-Qur'an ialah sunnah, bukan hadits, sebagaimana sering
dituturkan tentang adanya sabda Nabi saw. "Aku tinggalkan di
antara kalian dua perkara, yang kamu tidak akan sesat selama
berpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan sunnah RasulNya."

Tapi sekarang ini sunnah memang tidak dapat dibedakan dari
hadits, demikian pula sebaliknya. Jika seseorang menyebut
"sunnah" maka dengan sendirinya akan terbayang padanya
sejumlah kitab koleksi sabda Nabi. Yang paling terkenal di
antaranya ialah dua kitab koleksi oleh al-Bukhari dan Muslim
(disebut al-Shahihayn, "Dua Yang Sahih"), dan yang lengkapnya
meliputi pula kitab-kitab koleksi oleh Ibn Majah, Abu Dawud,
al-Turmudzi dan al-Nasa'i. Tapi sebelum mereka sudah ada
seorang kolektor hadits yang amat kenamaan dan berpengaruh
besar yaitu sarjana dan pemikir dari Madinah, Malik Ibn Anas
(pendiri madzhab Maliki, wafat 179 H.) yang menghasilkan kitab
hadits al-Muwaththa'.

Berdasarkan sabda Nabi tentang Kitab dan sunnah di atas, pada
prinsipnya sikap ingkar pada sunnah tidak dapat dibenarkan.
Tapi ingkar kepada hadits, sekalipun jelas tidak dapat
dilakukan secara umum tanpa penelitian tentang hadits tertentu
mana yang dimaksud, telah terjadi dalam kurun waktu yang
panjang pada golongan-golongan tertentu Islam seperti kaum
Mu'tazilah. Oleh karena dampak masalah ini dalam usaha
penetapan hukum (tasyri') sangat besar dan penting, maka
kajian kesejarahan tentang evolusi pengertian sunnah --yang
diungkapkan Nabi meski secara tersirat-- diharapkan akan dapat
membantu memperjelas persoalan. Perjalanan sejarah
perkembangan dan perubahan itu sendiri cukup panjang dan
rumit. Tapi jika kita berhasil melepaskan diri dari dogmatisme
yang menerima begitu saja pengertian-pengertian mapan tentang
apa yang terjadi di masa lampau, maka dari celah-celah sejarah
itu kita akan dapat menarik "benang merah" yang memberikan
kejelasan tentang perkembangan dan perubahan itu.

PENGERTIAN SUNNAH

Sunnah lebih luas daripada hadits, termasuk yang sahih.
Berarti, sunnah tidak terbatas hanya pada hadits. Sekalipun
pengertian ini cukup jelas, namun masih juga sering mengundang
kekaburan. Memang, antara sunnah dan hadits terbentang garis
kontinuitas yang tidak terputus, namun mencampuradukkan antara
keduanya tidak dapat dibenarkan.,

Jika disebutkan oleh Nabi bahwa sunnah merupakan pedoman kedua
setelah Kitab Suci bagi kaum muslim dalam memahami agama, maka
sesungguhnya Nabi hanya menyatakan sesuatu yang amat logis.
Yaitu, dalam memahami agama dan melaksanakannya, orang Islam
tentu pertama-tama harus melihat apa yang ada dalam Kitab
Suci, kemudian, kedua, harus mencari contoh bagaimana Nabi
sendiri memahami dan melaksanakannya. Sebab, Nabi-lah sebagai
utusan Tuhan, yang secara logis paling paham akan apa yang
dipesankan Tuhan pada manusia melalui beliau, juga yang paling
tahu bagaimana melaksanakannya. Pengertian lain yang menyalahi
hal itu mustahil dapat diterima.

Pemahaman Nabi terhadap pesan atau wahyu Allah itu teladan
beliau dalam melaksanakannya membentuk "tradisi" atau "sunnah"
kenabian (al-sunnah al-Nabawiyyah). Sedangkan hadits merupakan
bentuk reportase atau penuturan tentang apa yang disebabkan
Nabi atau yang dijalankan dalam praktek tindakan orang lain
yang "didiamkan" beliau (yang dapat dapat diartikan sebagai
"pembenaran"). Itulah makna asal kata hadits, yang sekarang
ini definisinya makin luas batasannya dan komprehensif. Namun
demikian, tidak berarti bahwa hadits dengan sendirinya
mencakup seluruh sunnah.

Jika sunnah merupakan keseluruhan perilaku Nabi, maka kita
dapat mengetahui dari sumber-sumber yang selama ini tidak
dimasukkan sebagai hadits, seperti kitab-kitab sirah atau
biografi Nabi. Sebab, dalam lingkup sunnah sebagai keseluruhan
tingkah laku Nabi, harus dimasukkan pula corak dan ragam
tindakan beliau, baik sebagai pribadi maupun pemimpin. Dalam
kedudukan beliau sebagai pemimpin itulah Kitab-kitab sirah
banyak memberi gambaran.

Di antara kitab-kitab sirah, termasuk yang sangat dini ditulis
ialah Sirah Ibn Ishaq yang kemudian disunting oleh Ibn Hisyam
(berturut-turut wafat pada tahun 151 dan 219 Hijri). Meskipun
wafat di Baghdad, Ibn Ishaq lahir di Madinah (pada tahun 85
H), dan tumbuh sebagai sarjana terkemuka di kota Nabi. Dan ia
telah mengumpulkan bahan untuk kitab sirah-nya beberapa lama
sebelum usaha-usaha pengumpulkan hadits.

Sebelum Ishaq, telah muncul berbagai karya tulis tentang
riwayat peperangan Nabi yang lazim disebut kitab-kitab
al-Maghazi. Kitab-kitab itu, bersama dengan kitab-kitab
biografi Nabi yang lain amat penting, karena memuat gambaran
tentang perjalanan hidup Nabi khususnya dalam kapasitas beliau
sebagai pemimpin. Maka, kitab-kitab itu juga merupakan sumber
yang baik untuk memahami sunnah, khususnya, jika yang dimaksud
selain tindakan-tindakan Nabi atau sabda beliau yang bersifat
terpisah dan ad hoc seperti umumnya tema catatan hadits. Dalam
sejarah terbukti bahwa pembacaan biografi Nabi, khususnya yang
berkaitan dengan riwayat peperangan beliau yang dikena sebagai
al-Maghazi tersebut, berhasil membangkitkan semangat
perjuangan Islam, karena ilham teladan baik dari beliau.
Inilah "eksperimen" Sultan Shalah al-Din al-Ayyubi dalam
menghadapi tentara Salib, yang ternyata berhasil gemilang. Dan
dengan "eksperimen" itu pemimpin Islam dari Mesir yang
kemudian terkenal dengan sebutan "Sultan Saladin" itu
mewariskan pada Umat Islam seluruh dunia tradisi Maulid, yaitu
upacara memperingati kelahiran Nabi dengan membaca riwayat
hidup beliau.

Sunnah Nabi harus pula dipahami sebagai keseluruhan
kepribadian Nabi dan akhlak beliau, yang dalam kepribadian dan
akhlak beliau disebutkan dalam Kitab Suci sebagai teladan yang
baik (uswah hasanah) bagi kita semua "yang benar-benar
berharap pada Allah pada Hari Kemudian, serta banyak ingat
kepada Allah" (Q.S. al-Ahzab 33:32). Dan beliau juga
dilukiskan dalam Kitab Suci sebagai seorang yang berakhlak
amat mulia (Q.S. al-Qalam 68:4). Dengan demikian Nabi, dalam
hal ini tingkah laku dan kepribadian beliau sebagai seorang
yang berakhlak mulia, menjadi pedoman hidup kedua setelah
Kitab Suci bagi seluruh kaum beriman.

Tetapi justru karena itu maka memahami sunnah Nabi tidak dapat
lepas dari memahami Kitab Suci sendiri. Sebab sesungguhnya
akhlak Nabi yang mulia itu tidak lain adalah semangat Kitab
Suci al-Qur'an itu sendiri, sebagaimana dilukiskan A'isyah,
isteri beliau. Dari Kitab Suci kita mengetahui lebih banyak
perkembangan kepribadian Nabi yang menggambarkan pengalaman
Nabi, baik yang menyenangkan atau tidak, yang keseluruhannya
menampilkan sosok Nabi yang berkeprlbadian mulia. Dari
pengamatan atas gambaran itu kita dapat memperoleh ilham
tentang peneladanan pada beliau, dan keseluruhan sasaran
peneladanan itu tidak lain ialah sunnah nabi. Sebagai contoh,
dua surat yang termasuk paling banyak dibaca dalam sembahyang
dapat kita renungkan maknanya di sini:

Demi pagi yang cerah dan demi malam ketika telah kelam.
Tidaklah Tuhanmu meninggalkan engkau (Muhammad), dan tidak
pula murka. Dan pastilah kemudian hari lebih baik bagimu
daripada yang sekarang ada. Dan juga pastilah Tuhanmu akan
menganugerahimu, maka kamu akan lega. Bukankah Dia mendapatimu
yatim, kemudian Dia melindungimu?! Dan Dia mendapatimu
bingung, kemudian Dia membimbingmu?! Dan Dia mendapatimu
miskin, kemudian Dia memperkayamu?! Maka kepada anak yatim,
janganlah engkau menghardik! Dan kepada peminta-minta,
janganlah kamu membentak! Sedangkan berkenaan dengan nikmat
karunia Tuhanmu, engkau harus nyatakan! (QS. al-Dluha 93:1-11)

Bukankah Kamu telah lapangkan dadamu?! Dan Kami bebaskan
bebanmu, yang memberati punggungmu?! Serta Kami muliakan
namamu?! Sebab sesunggahnya bersama kesulitan tentu ada
kemudahan! Maka jika engkau bebas, kerja keraslah! Dan kepada
Tuhanmu, senantiasa berharaplah! (QS. al-Syarh 94:1-8)

Para ahli hampir semuanya sepakat bahwa surat al-Dluha turun
kepada Nabi berkenaan dengan peristiwa terputusnya wahyu yang
relatif panjang, sehingga menimbulkan ejekan dan sinisme kaum
musyrik Makkah bahwa Tuhan telah meninggalkan Nabi dan murka
kepadanya. Dari latar belakang turunnya, surat ini juga
menggambarkan tentang suatu dinamika pengalaman Nabi dalam
perjuangan beliau, sehingga seperti dikatakan Sayyid Quthub,
Allah menghibur beliau dan memberinya dorongan moril, bahwa
Allah samasekali tidak meninggalkan beliau dan tidak pula
murka.

IMPLIKASI SUNNAH SEBAGAI KOREKSI HADITSDALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH Allah juga mengingatkan Nabi bahwa masa mendatang lebihpenting daripada masa sekarang. Dalam terjemah kontemporernya,Allah mengingatkan Nabi bahwa perjuangan jangka panjang, yangstrategis lebih penting daripada pengalaman jangka pendek,yang taktis. Oleh karena itu hendaknya Nabi tidak putus asaatau kecil hati oleh pengalaman kekecewaan jangka pendek.Sebab, perjuangan besar selalu memerlukan waktu untuk mencapaihasil dan semakin besar nilai suatu perjuangan maka semakinpanjang pula dimensi waktu yang diperlukannya. Dan dalamjangka panjang itulah, selama perjuangan diteruskan denganpenuh kesabaran dan harapan, Allah menjanjikan untuk memberikemenangan yang bakal membuat beliau puas dan lega. (JanjiTuhan ini kelak ternyata terbukti dan terlaksana, berupakemenangan demi kemenangan yang diraih Nabi setelah hijrah keMadinah, dan beliau pun wafat memenuhi panggilan menghadapAllah dalam keadaan menang dan sukses luar biasa). Serentak dengan itu semua Allah juga mengingatkan akan masalampau Nabi yang penuh kesusahan seperti keadaan beliau yangyatim-piatu, bingung tentang apa yang hendak dilakukan, danmiskin, dan bagaimana Allah telah menunjukkan kasih-Nya padabeliau dengan memberi kemampuan mengatasi kesusahan itu semua.Dan berdasarkan latar belakang itu maka Allah berpesan agarNabi janganlah sampai menghardik anak-yatim, atau membentakpeminta-minta, dan selalu ingat dengan penuh syukur akannikmat karunia Tuhan. Berkenaan dengan surat al-Syarh, para ahli mengatakan bahwawahyu itu turun kepada Nabi masih dalam kaitannya dengan suratal-Dluha, bahkan merupakan kelanjutannya. Dalam surat iniAllah menegaskan bagaimana Dia telah membuat Nabi sebagaiseorang yang lapang dada (munsyarih al-shadr), dan membuatsemua beban terasa ringan bagi beliau. Juga diingatkan bahwaAllah telah membuat terhormat nama Nabi dan dijunjung tinggi,berkat perjuangan beliau dan kebajikan yang ditegakkannya.Lalu Allah menegaskan bahwa setiap kesulitan tentu akanmembawa kemudahan; bahwa amal usaha tentu mengandungkesulitan, namun hasil perjuangan itu di kemudian hari tentuakan membawa kebahagiaan. Maka dari itu setiap kesempatanharus digunakan untuk kerja keras, sambil senantiasamengarahkan diri kepada Allah, dengan penuh harapan kepadaNya. Jadi, seperti telah diutarakan, dari kedua surat pendek yangbanyak dibaca dalam shalat itu dapat disimpulkan gambarandinamika kepribadian Nabi berhubung dengan pengalaman hidupperjuangan beliau. Jika kita renungkan lebih mendalam gambaranitu, maka sesungguhnya dinamika pengalaman hidup Nabi tersebutadalah universal, dalam arti dapat terjadi dan dialami olehsiapa saja dari kalangan manusia yang mempunyai tekad ataukomitmen pada cita-cita luhur. Oleh karena itu sikap-sikapyang telah ditunjukkan oleh Nabi sebagaimana tersimpul darikedua surat pendek itu akan melengkapi kaum beriman dengancontoh nyata dalam menghadapi problema kehidupan. Dari situkita paham sebuah sunnah Nabi, dan dari situ pula kitamengerti suatu aspek makna firman Allah bahwa pada diriRasulullah terdapat teladan yang baik bagi kaum beriman.Akhlak serta kepribadian yang menjadi sunnah Nabi, yang dapatdisimpulkan dari kedua surat itu adalah kurang lebih demikian: 1.Sikap senantiasa berpengharapan kepada Allah 2.Sadar akan perjuangan jangka panjang, 3.Yakin akan kemenangan akhir 4.Ingat akan latar belakang diri di masa lalu dan bagaimana semua kesulitan teratasi 5.Rasa kasih sayang kepada sesama manusia yang kurang beruntung 6.Senantiasa bersyukur pada Allah atas segala nikmat karunia-Nya, 7.Bersikap lapang dada 8.Memikul beban tanggungjawab dengan penuh kerelaan 9.Tidak kecil hati karena kesulitan, sebab yakin akan masa datang yang lebih baik 10.Menggunakan setiap waktu luang untuk kerja-kerja produktif 11.Tetap berorientasi kepada Allah, asal dan tuduan semua yang Firman Allah yang memberi gambaran dinamika kepribadian Nabisebagai uswah hasanah dalam al-Qur'an cukup banyak. Pengkajianterhadap firman-firman itu akan memberi gambaran yang utuhtentang siapa Nabi dan bagaimana garis besar sepak terjangbeliau dalam hidup beliau baik sebagai pribadi maupun sebagaiUtusan Ilahi. Kita dapat mendekteksi dinamika kepribadian Nabiitu dari firman-frman yang ditunjukkan khusus kepada Nabi,seperti diindikasikan oleh penggunaan kata pengganti nama"engkau" dalam suatu format dialog antara Tuhan danUtusan-Nya. Jadi sunnah Nabi, khususnya segi-segi yang dinamik danmendasar, dapat lebih banyak diketahui dari Kitab Sucidaripada dari kumpulan kitab hadits. Meskipun banyak laporandalam kitab-kitab hadits yang juga memberi gambaran tentangtingkah laku atau kepribadian Nabi, namun umumnya bersifat adhoc terkait erat dengan tuntutan khusus ruang dan waktu.Sedangkan yang ada dalam al-Qur'an, sekalipun dituturkan dalamkaitan dengan ruang dan waktu atau pengalaman khusus Nabi,namun ajaran moral di balik cerita selalu bersifat dinamiksehingga dapat dengan mudah diangkat pada tingkat generalitasyang tinggi, dengan demikian bernilai universal. Karena itusunnah Nabi sebenarnya tidak terbatas hanya pada hadits,meskipun hadits (yang sahih) memang termasuk sunnah. PERGESERAN PENGERTIAN SUNNAH KE HADITS Di atas telah dikemukakan adanya kelompok-kelompok kaum muslimyang sangat meragukan otentisitas dan otoritas kumpulanhadits. Mereka sebenarnya tidak mengingkari sunnah, karenaingkar pada sunnah Nabi adalah mustahil bagi seorang muslim.Tetapi mereka ini dapat disebut sebagai golongan "IngkarHadits" (sebutlah "Inkar al-Hadits"). Menurut Dr. Mushthafaal-Siba'i, seorang pembela paham Sunni yang bersemangat danmantan dekan Fakultas Syari'ah Universitas Syiria, sertaseorang tokoh pembina gerakan al-Ikhwan al-Muslimun di Syiria,golongan Ingkar Hadits itu terdapat di mana-mana dalam duniaIslam, dari dahulu sampai sekarang. Sangat menarik jalan pikiran seorang tokoh yang ingkar haditsitu di zaman modern, yang disebutkan oleh al-Siba'i sebagaicontoh, dan yang dinilainya banyak membuka pintu bagi oranglain sesudahnya untuk juga bersikap ingkar pada hadits. Tanpamenyebut namanya secara jelas, al-Siba'i mengutip tokoh ituyang pandangannya pernah dimuat oleh majalah al-Manarpimipinan Sayyid Muhammad Rashyid Ridla. Tokoh itu sendiri,menurut Mushthafa al-Siba'i, adalah seorang muslim yangbergairah, yang telah tampil membela Islam dengan cara yangmengagumkan. Tapi pandangannya yang menolak otoritas haditstelah menimbulkan heboh di kalangan para ulama al-Azhar. Secara ringkas, menurut al-Siba'i, pandangan mereka yangmenolak hadits ialah bahwa Islam hanyalah al-Qur'an saja, danbahwa Kitab Suci merupakan satu-satunya sumber penetapansyari'ah disebabkan kepastian otentisitasnya. Sedangkan sunnah(yang dimaksud tentunya hadits) mengandung keraguan dalamkeabsahannya sebagai sumber argumen (hujjah) karena terjadipenambahan-penambahan padanya, dan karena adanya banyakkontradiksi dalam sebagian cukup besar nash-nash-nya. Merekamendasarkan pandangan itu pada hal-hal berikut: 1.Allah telah menegaskan "Tidak ada satu perkarapun yang Kami abaikan dalam Kitab Suci (Q.S. Al-An'am 6:38). Ini menjelaskan bahwa Kitab Suci telah mencakup seluruh prinsip penetapan syari'ah, sehingga tidak lagi ada peran bagi sunnah (hadits) untuk menatapkan hukum dan membuat syari'ah. 2.Allah menjamin pemeliharaan al-Qur'an dari kesalahan, sebagaimana difirmankan, "Sesungguhnya Kami benar-benar telah menurunkan pelajaran, dan sesungguhnyalah Kami yang memelihara-Nya" (Q.S. al-Hijr 15:9). Tuhan tidak menjamin pemeliharaan sunnah (hadits), sehingga masuk ke dalamnya penambahan dan pemalsuan. Kalau seandainya hadits termasuk sumber penetapan syari'ah, tentulah Tuhan memeliharanya untuk kepentingan para hamba-Nya dari kemungkinan penyelewengan dan perubahan sebagaimana Dia telah memelihara Kitab Suci-Nya. 3.Sunnah (hadits) belum dibukukan di zaman Nabi saw., bahkan secara otentik diceritakan bahwa beliau melarang membukukannya. Hadits juga belum dibukukan di zaman al-Khulafa al-Rasyidun, dan kebanyakan tokoh besar para sahabat Nabi serta para Tabi'un seperti 'Umar, Abu Bakr, 'Alqamah, 'Ubaydah, al-Qasim Ibn Muhammad, al-Sya'bi, al-Nakha'i, dll., menunjukkan sikap tidak suka pada usaha membukukannya. Pembukuan hadits baru dimulai pada akhir abad pertama, dan selesai pengumpulan dan koreksinya pada pertengahan abad ketiga. Ini adalah jangka waktu yang cukup panjang untuk menimbulkan keraguan tentang keabsahan teks-teks hadits, dan hal itu dengan sendirinya menempatkan sunnah pada tingkat dugaan (martabat al-dhann) belaka, sedangkan dugaan tidak dapat menghasilkan hukum syar'i, karena Allah berfirman, "Sesungguhnya dugaan tidak sedikit pun menghasilkan kebenaran" (Q.S. al-Najm 52:28). 4.Terdapat penuturan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda "Sesungguhnya hadits akan memancarkan dari diriku. Apapun yang sampai kepadamu sekalian dan bersesuaian dengan al-Qur,an, ia berasal dari diriku; dan apapun yang sampai kepadamu dan menyalahi al-Qur'an, ia tidak berasal dariku." [1] Dalam kutipan al-Siba'i tentang argumen orang yang ingkar padahadits itu disebutkan bahwa pembukaan hadits dimulai padaakhir abad pertama Hijri, dan rampung pada pertengahan abadketiga. Mungkin yang dimaksudkan ialah adanya doronganpembukuan hadits oleh Khalifah 'Umar Ibn 'Abd al-'Aziz (w. 102H.) dari Bani Umayyah. Khalifah ini terkenal dengan sebutankehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan pengakuan bahwa iaadalah pelanjut kekhalifahan 'Umar Ibn al-Khaththab yangbijakbestari. Maka banyak kalangan kaum Muslim yang memandang'Umar II sebagai anggota kelima dari al-Khulafa, al-Rasyidun,sesudah 'Ali Ibn Abi Thalib. 'Umar II memerintahkan seorang sarjana terkenal, Syihab al-Dinal-Zuhri (w. 124 H) untuk meneliti dan membuktikan tradisiyang hidup di kalangan penduduk Madinah, Kota Nabi, karenakeyakinan 'Umar II bahwa tradisi itu merupakan kelanjutanlangsung pola kehidupan masyarakat Madinah di zaman Nabi, jikabukannya malah merupakan wujud historis yang kongkret dari"tradisi" atau "sunnah" Nabi sendiri. Dari sudut analisa politik, tindakan 'Umar II ini adalah untukmenemukan dan mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideologiJama'ah-nya, yang dengan ideologi itu ia ingin merangkulseluruh kaum Muslim tanpa memandang aliran politik ataupemahaman keagamaan mereka, termasuk kaum Syi'ah dan Khawarijyang merupakan kaum oposan terhadap rezim Umayyah. 'Umar IImelihat bahwa sikap yang serba akomodatif pada semua kaummuslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaankhasnya itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah,di bawah ke kepeloporan tokoh-tokohnya seperti 'Abd-Allah ibn'Umar (Ibn al-Khaththab), 'Abd-Allah Ibn 'Abbas dan 'Abd-AllahIbn Mas'ud. Jadi, dalam pandangan 'Umar II, sikap yang serbainklusifistik sesama kaum muslim itu merupakan "tradisi" atau"sunnah" historis penduduk Madinah, dan dengan begitu, jugamerupakan kelanjutan yang sah dari "tradisi" atau "sunnah"Nabi. Maka penelitian dan pembukaan tentang tradisi pendudukMadinah akan dengan sendirinya menghasilkan pembukaan"tradisi" atau "sunnah" Nabi. Selanjutnya, "sunnah" itu akanmemberi landasan legitimasi bagi idenya tentang persatuanseluruh umat Islam dalam "Jama'ah" yang serba mencakup.Berdasarkan latar belakang inilah maka ideologi 'Umar II kelakdisebut sebagai paham "sunnah dan jama'ah" dan parapendukungnya disebut ahl al-sunnah wa al-Jama'ah (golongansunnah dan jama'ah). Mushthafa al-Siba'i amat menghargai kebijakan 'Umar IIberkenaan dengan pembukaan sunnah itu, sekalipun iamenyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak memberiangin pada kaum Syi'ah dan Khawarij (karena, dalam pandanganal-Siba'i, golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasidiri sehingga, dalam kolaborasinya dengan kaum Abbasi, merekaakhirnya mampu meruntuhkan Dinasti Umayyah dan melaksanakanpembalasan dendam yang sangat kejam). Dan, menurut al-Siba'i,sebelum masa 'Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha-usahapribadi untuk mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh 'AbdAllah Ibn 'Amr Ibn al-'Ash. [2] Tapi, sesungguhnya, pembukuan hadits secara sistematis dankritis dan dalam skala besar serta pada tingkat kesungguhanyang tinggi baru dimulai pada awal abad ketiga dengantampilnya Iman al-Syafi'i (w. 204 H), dan baru benar-benarrampung pada awal abad keempat Hijri, dengan tampilnyaal-Nasa'i (w. 303 H). Imam al-Syafi'i adalah tokoh pemikirpeletak sebenarnya teori ilmiah pengumpulan dan klasifikasihadits. Teori dan metodenya kemudian diterapkan dengan setiaoleh al-Bukhari (w. 256 H), lalu diteruskan berturut-turutoleh Muslim (w. 261 H), Ibn Majah (w.273 H), Abu Dawud (w.275H), al-Turmudzi (.w. 279 H) dan terakhir, al-Nasa'i (w. 303H). Koleksi mereka berenam itulah yang kelak disebut "Kitabyang Enam" (al-Kutub al-Sittah). Akibatnya, pengertian"sunnah" pun kemudian menjadi hampir identik dengan koleksihadits dalam "Kitab yang Enam" itu. IMPLIKASI SUNNAH SEBAGAI KOREKSI HADITSDALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH Fakta historis tersebut di atas menunjukkan bahwa prosespengumpulan hadits berlangsung selama satu abad atau lebih,dimulai sejak sekitar dua abad setelah Nabi dan rampungsekitar tiga abad setelah Nabi. Sesudah masa itu memang masihterdapat usaha pengumpulan sisa-sisa hadits oleh beberapapribadi, namun sudah tidak lagi banyak berarti. Selaindasar-dasar pertimbangan yang berasal dari al-Qur'an dan pesanNabi sendiri --menurut pengertian yang dipegang oleh merekayang ingkar hadits-- masa kodifikasi dan seleksi hadits yangdemikian lama sesudah masa Nabi dan yang memakan waktudemikian panjang merupakan dasar sikap mereka yang meragukanotoritas hadits. Sebagaimana telah dikutip kembali dari keterangan (kutipan)Mushthafa al-Siba'i, dasar-dasar argumen menolak otoritashadits secara ringkasnya adalah sebagai berikut: 1.Keseluruhan ajaran Islam cukup berdasarkan pada al-Qur'an saja, karena telah menegaskan bahwa Kitab Suci itu telah memuat segala sesuatu. 2.Allah menjamin terpeliharanya al-Qur'an, tapi tidak menjamin hal serupa untuk Hadits. 3.Nabi melarang, sekurangnya menghalangi, penulisan hadits di masa beliau, demikian pula para sahabat dan para Tabi'un terkenal. 4.Nabi menegaskan agar orang menerima hadits hanya yang benar-benar bersesuaian dengan al-Qur'an, dan menolak yang lain. Dr. Musthafa al-Siba'i, seorang pembela paham Sunni yangtegar, dengan tandas menolak argumen-argumen itu. Diamenyatakan: 1.Memang benar Kitab Suci memuat segala sesuatu, tapi hanya dalam garis besar saja. 2.Yang disebut bakal dijamin terpelihara dari usaha pengubahan tidak hanya pada al-Qur'an tapi juga meliputi sunnah, dalam hal ini hadits. Sunnah dan hadits tetap terpelihara, melalui sistem hafalan kaum muslim Arab yang memang terkenal memiliki kemampuan menghafal yang amat kuat (sebagai akibat pengembangan bahasa Arab yang amat tinggi namun tidak banyak bersandar pada penggunaan tulisan). 3.Pencegahan Nabi dan para pembesar sahabat dan Tabi'un dari usaha membukukan hadits terjadi karena kekuatiran akan tercampur dengan teks-teks al-Qur'an yang saat itu kodifikasi resminya belum mapan di kalangan umat, disebabkan sedikitnya mereka yang ahli baca-tulis. Pencegahan itu hanya menyangkut usaha pembukuan resmi. Sedangkan yang tidak resmi dan sebagai catatan pribadi, beberapa sahabat telah melakukannya. 4.Keabsahan hadits yang menjadi landasan argumen keempat di atas diragukan oleh para ahli. Dan jika benar pun, maknanya adalah sangat wajar, yaitu bahwa kita harus menerima hadits hanya yang sejalan dengan al-Qur'an. Justru para ulama semuanya sepakat bahwa, Hadits yang sahih, meskipun menetapkan ajaran secaratersendiri, tidak ada yang bertentangan dengan al-Qur'an. Pembelaan al-Siba'i atas sunnah sebagai hadits itu mewakilipandangan yang sangat umum di kalangan para ulama. Namun iatidak memberi kejelasan tentang bagaimana efek kenyataansejarah bahwa untuk sampai pada koleksi dan kodifikasi haditsseperti sekarang ini proses-proses yang amat sulit harusdilewati, khususnya proses pemisahan mana dari laporan-laporanhadits itu otentik dan yang palsu. masih tetap diperlukanadanya argumen yang kukuh dan mendasar untuk pandangan bahwaklasifikasi yang ada sekarang adalah terpercaya, atau sudahtidak lagi memerlukan peninjauan kembali. Batu penarung bagipandangan ini ialah kenyataan bahwa zaman sekarang ditandaidengan mudahnya diperoleh bahan bacaan di semua bidang,termasuk bidang-bidang yang dapat dijadikan landasan kajianperbandingan ilmu kritik hadits, baik dari segi metodologinyamaupun dari segi hasil-hasil yang telah dicapai. Karena itupada zaman sekarang akan lebih mudah bagi mereka yang berminatsecara khusus untuk meneliti kembali hadits-hadits dan membuatklasifikasi baru tentang sahih-tidaknya matan-matan danriwayat-riwayat yang ada. Sebenarnya hal ini dapat sekedarmerupakan pengulangan atau penerapan kembali metodologi Imamal-Bukhari, tapi dengan dibantu oleh penggunaankemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh zaman modern, baikdari segi perangkat kerasnya (material dan bahan bacaan yangtersedia) maupun perangkat lunaknya (metodologi kritiknya). Imam al-Bukhari sendiri sekedar meneruskan dan menerapkandengan setia teori dan prinsip-prinsip riset hadits yangdiletakkan oleh Imam al-Syafi'i. Dorongan untuk meletakkanteori dan metodologinya itu ialah keprihatinan al-Syafi'i olehadanya kekacauan dan berkecamuknya usaha pemalsuanlaporan-laporan hadits di zamannya, yang laporan-laporan itusendiri semula dan kebanyakan bergaya anekdotal tentanggenerasi Islam yang telah lewat, mencakup tentang Nabi sendiridan para sahabat. Karena itu hadits juga disebut Khabar,Akhbar, Riwayah, Atsar, dan lain-lain, yang kesemuanyamenunjukkan sisa pengertiannya yang mula-mula, yaitu kabar,berita, penuturan, peninggalan, dan lain-lain. Maka yangdilakukan al-Syafi'i mempunyai nilai yang sungguh besar,dengan pengaruh yang sampai sekarang dirasakan oleh seluruhumat Islam. Tapi yang telah dilakukan oleh imam al-Syafi'i jauh lebihbanyak daripada sekedar meletakkan dasar-dasar metodologipenelitian hadits. Tokoh pendiri madzhab yang penganutnyabanyak di negeri kita ini juga diakui jasanya sebagai yangmeletakkan dasar-dasar metodologi penetapan syari'ah, yangjustru terasa semakin relevan dengan keadaan zaman sekarangini. Menurut Marshall Hodgson --yang dapat kita anggap sebagaiseorang peninjau netral dan cukup jujur-- al-Syafi'i berjasasebagai seorang sarjana yang dengan penuh kesadaran meletakkanprinsip adanya pertimbangan historis bagi penetapan syari'ah.Hal itu tercermin dalam konsepnya tentang nasikh-mansukh,yaitu konsep yang memandang kemungkinan suatu hukum dihapuskanoleh hukum yang lain dalam Islam, disebabkan adanyapertimbangan baru berkenaan dengan lingkungan (dharf), baiklingkungan ruang (dharf al-makan) maupun lingkungan waktu(dharf al-zaman). [3] Berdasarkan metodologid al-Syafi'i itu maka terkenal sekalirumus hukum Islam yang mengatakan bahwa hukum berubah olehperubahan zaman dan tempat. Terutama perubahan zaman, semuaulama sepakat bahwa hal itu tidak dapat dielakkan akan membawaperubahan hukum. Prinsip ini tercermin dalam dua kalimatrumusannya dalam bahasa Arab, [Tulisan Arab] yang artinya, "Perubahan hukum oleh perubahan zaman. Tidakdapat diingkari perubahan hukum oleh perubahan zaman). [4] Untuk dapat melaksanakan prinsip amat penting itu tidaklahmudah. Salah satu yang mesti diperlukan ialah kemampuanmenangkap "pesan zaman", sehingga suatu hukum dapat diterapkansecara efektif karena relevan dengan pesan zaman itu. Iniberarti juga menuntut kemampuan membuat generalisasi atauabstraksi dari hukum-hukum yang ada menjadi prinsip-prinsipumum yang berlaku untuk setiap zaman dan tempat. Danberlakunya suatu prinsip untuk segala zaman dan tempat adalahberarti kemestian memberi peluang pada prinsip itu untukdilaksanakan secara teknis dan kongkret menurut tuntutan ruangdan waktu. Karena ruang dan waktu berubah, maka tuntutanspesifiknya pun tentu berubah, dan ini membawa perubahanhukum. Maka yang berubah bukanlah prinsipnya, melainkanpelaksanaan teknis dan kongkret hukum itu dalam masyarakattertentu dan masa tertentu.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website TemplatesFreethemes4all.comFree CSS TemplatesFree Joomla TemplatesFree Blogger TemplatesFree Wordpress ThemesFree Wordpress Themes TemplatesFree CSS Templates dreamweaverSEO Design