asal usul islam

Asal Usul Islam
Suatu agama, baik yang mengaku sebagai agama wahyu maupun tidak, tidak bisa lepas dari pengaruh situasi asal-usulnya yang kompleks. Adanya campur tangan Tuhan sekalipun, tidak bisa terlepas dari pengaruh-pengaruh ini. Teologi Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qur'an, tidak mengenal konsep campur tangan Tuhan yang semena-mena, bahkan dalam teologi Asy'ariah sekalipun. Pernyataan Al-Qur'an dalam masalah ini sangat jelas.
"Kamu tidak akan pernah menemukan perubahan apa pun pada sunnah Allah".[1]
Bahkan pahala dan siksa Tuhan, berbeda dengan teologi Calvinis, bukan atas dasar tindakan Tuhan yang semena-mena. Al-Qur'an menyatakan,
"Tidak ada sesuatu pun bagi manusia, kecuali apa yang diupayakan".[2]
Tentu saja, petunjuk Allah (taufiq min Allah) tidak ditolak, tetapi petunjuk Allah itu, sepanjang perhatian teologi Al-Qur'an, tidaklah bersifat semena-mena. Taufiq (petunjuk Allah) dalam teologi Islam sesungguhnya merupakan potensi untuk bertindak yang diciptakan Tuhan, yang masih mempunyai kemungkinan dapat atau tidak dapat diaktualisasikan, karena manusia adalah "agen" yang bebas.
Proses historis juga sangat diperlukan dalam Islam. Sejarah bukanlah mitos, bukan pula suatu proyek arbitrer yang sama sekali tidak mempunyai kausalitas sosial. Al-Qur'an memang mempunyai pendekatan teleologis sebagaimana kisah nabi-nabi Israel yang diceritakan dengan penggambaran yang jelas, tetapi kausalitas tidaklah diabaikan begitu saja. Kemurkaan Allah kepada suatu bangsa atau seseorang diberlakukan ketika mereka mengabaikan proses kausalitas sosial dan berbuat menyimpang dari sunnah-Nya, baik secara fisik (hukum alam) maupun moral (hukum-hukum etik yang mengacu pada hudud Allah dalam Al-Qur'an). Al-Qur'an menyatakan:
"Telah banyak negeri yang Kuhancurkan ketika warganya melakukan kezaliman. Maka reruntuhannya menimpa atap-atapnya, dan bagaimana telaga dan gedung-gedung (mereka tinggalkan)."[3]
Dan lagi,
"Dan banyak negeri yang aku biarkan, sementara warganya berbuat zalim, lalu setelah sampai waktunya, Aku kenakan siksa bagi mereka..."[4]
Dengan demikian kita melihat bahwa teologi Islam, sebagaimana dinyatakan Al-Qur'an, sama sekali tidak mengabaikan determinisme sejarah,[5] tetapi sebaliknya, secara serius memperhatikan peristiwa sejarah serta pengaruh-pengaruhnya yang menentukan. Islam juga mencoba menanmkan kesadaran sejarah pada umatnya. Al-Qur'an berkata:
"Apakah mereka tidak pernah melakukan penjelajahan di muka bumi? Mereka mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami, dan mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah mata-hati yang ada di dalam dada."[6]
Apa yang dinyatakan secara jelas adalah bahwa kesadaran yang tepat diperlukan untuk memahami sesuatu dan mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa sejarah, dan bukan semata-mata persepsi inderawi yang dimiliki setiap orang.
Sebelum kita membahas lebih lanjut asal-usul Islam, kiranya kita perlu memahami istilah "determinisme sejarah" dengan tepat. Hal ini tidak lain untuk menghindari kesalahpahaman. Istilah ini tidak menafikan lingkup yang sah bagi inisiatif manusia yang bagaimanapun sesuai dengan persepsi manusia tentang tujuan ilahiyah.[7]
Menjelang dewasa, Nabi menemukan situasi yang sangat kacau di Mekkah, tempat Islam dilahirkan. Seorang yang berperilaku jujur, yang memperoleh gelar Al-Amin, tentulah sangat gelisah melihat situasi yang ada di hadapannya, dan mencari jalan keluarnya. Seorang yang sangat rendah hati tapi berhati dan berotak luar biasa cerdas, mulai mencari jalan keluar yang kemudian menuntunnya untuk menyendiri di gua Hira, di sebuah pegunungan berbatu di luar kota Mekkah. Muhammad, Nabi Islam itu, setelah melewati hari-hari meditasi dalam kesendiriannya di gua, akhirnya memperoleh cahaya wahyu Tuhan. Wahyu, secara essensial, berwatak religius, namun tetap menaruh perhatian pada situasi yang ada serta memiliki kesadaran sejarah. Ayat-ayat pertama Al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi, sebagaimana nanti akan kita lihat, mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap situasi yang terjadi di Mekkah.
Lalu, bagaimana situasi Mekkah ketika itu? Mekkah sejak akhir abad kelima telah berkembang menjadi pusat perdagangan yang penting. "Mekkah menjadi makmur, karena lokasinya berada pada rute strategis dan menguntungkan dari Arabia Utara ke Arabia Selatan; Mekkah menjadi jalur utama perdagangan dan menjadi pusat pertemuan para pedagang dari kawasan Laut Tengah, Teluk Parsi, Laut Merah melalui Jeddah, bahkan dari Afrika.[8] Dengan demikian Mekkah berkembang menjadi pusat keuangan dari kepentingan internasional yang besar. Karena itu, bersamaan dengan berkembangnya perdagangan dan peredaran uang, suatu pandangan hidup dan cara pandang baru pun muncul, meskipun belum dinyatakan secara sadar dan tepat. Kerja komersial tentu mempunyai logikanya sendiri dan mengarahkan masyarakat pada suatu cara hidup tertentu. Dinamika sosial dalam masyarakat Mekkah yang seperti itu mengarahkan pada suatu kehidupan yang tidak selaras dengan kehidupan masyarakat yang beralaskan norma-norma kesukuan.
Pada pasir di sekitar Mekkah yang tak bersahabat membuat beberapa suku merasa tenang hidup di Mekkah. Namun, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi perdagangan yang sangat cepat, biaya kehidupan di Mekkah menjadi masalah baru bagi suku-suku itu. Orang-orang Baduy itu mempunyai cara pandang dan etika kesukuan tertentu, misalnya watak egalitarian. Mereka terbiasa bebas dari semua bentuk tanggungjawab kecuali sebatas apa yang menyangkut suku mereka. Suku-suku padang pasir itu hidup nomadik, karena itu tidak banyak mengembangkan tradisi pemilikan pribadi kecuali sebatas hewan peliharaan dan persenjataan ringan. Kebutuhan-kebutuhan mereka pun sangat sederhana sekedar untuk melangsungkan kehidupan dan ditandai tidak adanya ekonomi uang (cash economy). Oleh karena itu, masalah akumulasi dan pemusatan kekayaan, tidak muncul.
Di satu sisi, masyarakat pedagang (yang berdasar pada sirkulasi produk, bukan pada produksinya), tergantung pada perluasan ekonomi uang. Masyarakat ini mengembangkan lembaga-lembaga pemilikan pribadi, memperbanyak keuntungan, menumuhkan disparitas ekonomi dan pemusatan kekayaan. Etika masyarakat perdagangan itu tentu saja bertabrakan dengan etika masyarakat kesukuan. Kebangkrutan sosial di Mekkah, sesungguhnya berakar pada konflik-konflik ini. Karena cepatnya perkembangan operasi perdagangan, beberapa pedagang yang memiliki keahlian yang berasal dari berbagai klan dan suku, terus menerus memperbanyak kekayaan pribadinya. Bahkan mereka membentuk korporasi bisnis antar-suku dan menerapkan monopoli pada kawasan bisnis tertentu di tempat asal mereka. Orang-orang lemah dan tersingkir dari persaingan bebas ini mencoba membentuk asosiasi yang mereka sebut Hilf al-Fudul (Liga Orang-orang Tulus).
Nabi tergabung dalam Liga ini dan selalu merasa bangga dengan persekutuannya dengan Liga tersebut. Berbagai penjelasan telah ditawarkan untuk pembentukan Liga ini.[9]
Demikian pula orang-orang miskin, lemah, terlantar dan tak terlindungi yang terjebak dalam proses sosial yang tak terelakkan itu merebak di pinggiran kota perdagangan Mekkah. Dalam struktur masyarakat kesukuan, hancurnya struktur masyarakat kesukuan di Mekkah bertanggungjawab terhadap terbukanya pintu ketegangan sosial.[10] Sementara itu, monopoli perdagangan sedang muncul di Mekkah.[11]
Agama apapun, sebagaimana telah dinyatakan di muka, membawa ciri-ciri asal-usul kelahirannya, sekalipun agama itu agama wahyu. Ajaran Islam sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Qur'an, tanpa pengecualian juga terkena hukum ini. Tuhan menjanjikan dalam Al-Qur'an untuk mengutus seorang pembimbing atau seorang pemberi peringatan ketika suatu masyarakat menghadapi krisis sosial dan krisis moral. Muhammad dipilih sebagai instrumen kemahabijaksanaan Tuhan untuk membimbing dan membebaskan rakyat Arabia dari krisis moral dan sosial yang lahir dari penumpukkan kekayaan yang berlebih-lebihan sehingga menyebabkan kebangkrutan sosial. Islam bangkit dalam setting sosial Mekkah, sebagai sebuah gerakan keagamaan, namun lebh dari itu, ia sesungguhnya sebuah gerakan transformasi dengan implikasi sosial ekonomi yang sangat mendalam. Islam, dengan kata lain, menjadi tantangan serius bagi kaum monopolis Mekkah.
Harus dicatat, kaum hartawan Mekkah, bukan tidak mau menerima ajaran-ajaran keagamaan Nabi--sebatas ajaran-ajaran tentang penyembahan kepada satu Tuhan (Tauhid). Hal itu bukanlah sesuatu yang merisaukan mereka. Yang merisaukan mereka justru implikasi-implikasi sosial-ekonomi dari risalah Nabi itu. Seperti diketahui, di sana telah berkembang kepentingan ekonomi perdagangan yang sangat kuat. Mereka semuanya merasakan bahwa di dalam risalah Nabi terdapat suatu yang mengancam kepentingan mereka, yakni kepentingan akumulasi kekayaan yang selama ini berjalan tanpa rintangan. Namun sekarang ayat-ayat Al-Qur'an mencela penumpukan kekayaan itu. Salah satu ayat yang diturunkan di Mekkah pada awal-awal Islam mengatakan:
"Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa harta itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthomah. Dan tahukan kamu Huthomah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke ulu hati."[12]
Fakta bahwa Islam lebih dari sekedar sebuah agama formal, tetapi juga risalah yang agung bagi transformasi sosial dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi, dibuktikan oleh penekanannya pada shalat dan zakat. Dalam kebanyakan ayat Al-Qur'an, shalat tidak pernah disebut tanpa diiringi dengan zakat. Zakat, seperti digariskan Al-Qur'an, dimaksudkan untuk distribusi kekayaan kepada fakir dan miskin, untuk membebaskan budak-budak, membayar hutang mereka yang berhutang dan memberikan kemudahan bagi ibnu as-sabil (yang secara harfiah diartikan sebagai infrastruktur bagi orang-orang yang berpergian). Di Arab ketika itu, langkah-langkah seperti itu dirasakan sebagai hal baru yang sangat revolusioner, karena itu masyarakat bisnis Mekkah, yang merasa kepentingannya terancam melakukan perlawanan terhadap Nabi.
Signifikansi transformatif dari ajaran Islam, lebih lanjut dibuktikan oleh kenyataan bahwa ajaran-ajaran itu lahir di dalam polarisasi kekuatan-kekuatan sosial. Budak-budak dan orang-orang yang tidak pandai berdagang di satu pihak, dan pemuda-pemuda radikal di pihak lain, bersatu mendukung Nabi. Orang-orang kafir yang menentang risalah Nabi merasakan hal itu sebagai pukulan keras bagi kepentingan mereka. Masalah ini diisyaratkan dalam Al-Qur'an ketika ia mengatakan:
"Dan kami tidak mengutus pada suatu negeri seorang pemberi peringatan, melainkan orang-orang yang hidup mewah dinegeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya."[13]
Tapi Al-Qur'an memperingatkan orang-orang kaya ini:
"Dan sekali-kali bukanlah harta dan (bukan) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepadaKu sedikitpun; tetapi orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh."[14]
Dengan demikian sangat jelas bahwa orang-orang kafir dalam arti yang sesungguhnya adalah orang-orang yang menumpuk kekayaan dan menghidupkan terus menerus ketidakadilan serta merintangi upaya-upaya menegakkan keadilan dalam masyarakat. Keadilan, sebagaimana nanti akan kita lihat, merupakan salah satu aspek penting dalam ajaran Islam di bidang ekonomi.
Karena memperluas jaringan perdagangan di tingkat internasional, Mekkah siap berada di puncak revolusi sosial. Namun, hingga munculnya Islam, tidak ada pemimpin terkemuka yang mampu mengartikulasikan teori yang sistematis dan masuk akal untuk memajukan masyarakat Mekkah, baik pada dataran spiritual maupun pada dataran fisik. Muhammad, adalah orang pertama yang memikirkan proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat Mekkah secara serius. Tetapi, visi dan pemikiran Nabi dalam mengembangkan ajaran-ajarannya itu tidak semata-mata ditentukan oleh situasi Mekkah saja. Ajaran-ajarannya, yang diekspresikan dalam idiom-idiom religio-spiritual, sangatlah universal dalam pelaksanaannya dan menimbulkan restrukturisasi masyarakat secara radikal. Kita akan membahas masalah ini secara detail, agar kita mampu memahami kekacauan dunia Islam saat ini.
Sebagaimana yang dikemukakan dengan tepat oleh Muhammad Ahmad Khalfallah, pada dasarnya Nabi Muhammad adalah seorang revolusioner dalam ucapan maupun dalam perbuatannya. Ia bekerja demi perubahan radikal pada struktur masyarakat sosial pada masanya.[15] Ia mengabaikan
kemapanan di kotanya, yang telah dikuasai oleh orang-orang kaya dan penguasa Mekkah. Rumusan yang didakwahkan, La ilaha illa Allah, dengan sendirinya sangat revolusioner dalam implikasi sosial-ekonominya. Kekuatan revolusioner manapun, pertama-tama haruslah merombak status-quo, sebelum alternatif lainnya bisa berfungsi. Dengan mendakwahkan La ilaha illa Allah, Nabi Muhammad tidak hanya menolak berhala-hala yang dipasang di Ka'bah, tetapi juga menolak untuk mengakui otoritas kelompok kepentingan yang berkuasa dan struktur sosial yang ada pada masanya.
Orang-orang kafir Mekkah lebih merasa terusik oleh implikasi-implikasi revolusioner teolog Muhammad ketimbang dakwahnya yang menantang penyembahan berhala. Semua tokoh penentangnya berasal dari kelas pedagang kaya yang merasa terancam otoritas dan dominasi mereka. Ancaman itu dirasakan begitu serius sehingga mereka memutuskan untuk menyiksa para pengikut Muhammad kapan dan di manapun. Karena alasan tersebutlah, Nabi memerintahkan para pengikutnya untuk hijrah ke Medinah, tempat di mana dia memperoleh dukungan dan jaminan tertentu. Bahkan sekelompok pengikutnya ada yang sudah lebih dulu hijrah ke Ethiopia.
Nabi Muhammad, dengan inspirasi wahyu ilahiyah menurut formulasi teologis, mengajukan sebuah alternatif tatanan sosial yang adil dan tidak eksploitatif serta menentang penumpukkan kekayaan di tangan segelintir orang (oligarki). Memang rumusan Al-Qur'an lebih bersifat teologis, tidak sosiologis, seperti pada umumnya sistem berpikir yang dirumuskan pada masa kenabian, tetapi semua orang akan melihat betapa rumusan-rumusan itu mempunyai implikasi-implikasi sosial yang sangat besar. Distribusi kekayaan yang berlebih kepada kelompok masyarakat yang lemah diistilahkan dengan infaq fi sabilillah. Al-Qur'an mengutuk orang-orang yang menimbun emas dan perak, tidak menafkahkannya di jalan Allah serta meminta Nabi untuk memperingatkan mereka, bahwa hukuman yang berat menunggu mereka.[16] Dengan struktur ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ketika itu, maka satu-satunya jalan untuk memberikan perlindungan bagi orang-orang yang lemah adalah memberi tanggung jawab kepada orang-orang kaya untuk membagikan kelebihan kekayaan di jalan Allah.
Haruslah diingat, bahwa ketika revolusi sosial didakwahkan melalui konsep-konsep religius, maka terma yang demikian itu pasti digunakan. Namun untuk mempertahankan keutuhan ruh dari ajaran-ajaran teologis ini, maka diskursus teologis ini harus ditafsirkan kembali dalam terma sosial, politik dan ekonomi modern. Ajakan teologis untuk membagikan kelebihan kekayaan di jalan Allah, dalam terma sosial modern, ditransformasikan menjadi penciptaan institusi-institusi yang tepat misalnya pemilikan alat-alat produksi oleh masyarakat, penarikan pajak melalui negara untuk pembiayaan berbagai proyek kesejahteraan rakyat, dan institusi-institusi lain yang mampu memeratakan kekayaan di dalam masyarakat.
Nabi tidak pernah berkeinginan untuk memutarbalik roda sejarah. Ia sangat keras mengecam praktek riba yang eksploitatif, namun sama sekali tidak mengharamkan laba yang diperlukan dalam masyarakat perdagangan. Hanya saja ia memberi batasan-batasan tertentu untuk menghilangkan praktek-praktek pemerasan dan penghisapan yang dilakukan oleh para pedagang yang serakah dan tidak jujur. Menghilangkan sama sekali laba akan membuat surut masyarakat komersial yang sedang berkembang. Tentu saja, semua praktek licik yang dianggap curang atau mengambil keuntungan yang tak semestinya dari seseorang sangat dikutuk. Ibnu Hazm, seorang ahli hukum terkenal menyatakan prinsip transaksi terbuka:
"Penjualan suatu barang yang fakta-faktanya tidak diketahui oleh penjual tidak dibenarkan, sekalipun diketahui oleh pembeli; demikian pula untuk komoditas yang tidak jelas bagi pembeli meskipun penjual mengetahuinya. Transaksi barang-barang yang kedua belah pihak (penjual dan pembeli) tidak mengetahui fakta-faktanya, juga tidak diperbolehkan (tidak sah)."[17]
Dalam situasi tertentu, bahkan di negara-negara sosialis sekali pun, perdagangan swasta, perusahaan bahkan produksi tetap diperbolehkan pada skala yang terbatas, selama tidak menimbulkan eksploitasi-eksploitasi terhadap orang lain. Seseorang tidak bisa kaku dalam masalah-masalah seperti ini. Sangat bergantung pada situasi tempat kita berurusan. Nabi sadar benar akan situasi dan idealismenya selalu mempunyai dimensi historis. Karena untuk berhasil, suatu revolusi sosial harus memiliki kesadaran sejarah dan harus merespon kebutuhan-kebutuhan yang secara sosial dirasakan oleh orang-orang yang terkena revolusi sosial tersebut. Konsep riba tersebut (biasanya diterjemahkan sebagai bunga) juga harus dipahami dalam konteks sejarah yang tepat. Motif nyata untuk melarang riba (persoalan ini akan dibicarakan secara rinci di bab lain) adalah untuk mengakhiri eksploitasi terhadap orang-orang yang tidak berdaya, dan bukan merupakan larangan total terhadap semua bentuk bunga. Konsep riba, menurut saya, juga harus termasuk keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari 'eksploitasi' tenaga kerja, atau keuntungan dari penanaman modal yang mengabaikan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat.
Al-Qur'an, di samping mendakwahkan cita-cita Islam, tidak pernah mengabaikan konteks situasinya dan, sebenarnya hal inilah yang menjadi rahasia keberhasilannya. Misalnya ia tidak mengambil pendekatan kelas dengan jelas, karena pendekatan itu hampir-hampir tidak akan berfungsi dalam situasi sejarah berikutnya. Al-Qur'an membenci perbudakan, tapi tidak segera menghapusnya begitu saja. Perbudakan bukan merupakan bagian integral dari sistem ekonomi di Mekkah. Meskipun begitu, perbudakan tetap menjadi masalah yang sangat penting. Terlepas dari dukungan biaya yang bisa diperoleh Nabi dari tokoh-tokoh penting di Mekkah dan Medinah, penghapusan perbudakan bisa menimbulkan masalah baru yang tak terpecahkan pada masa permulaan Islam.[18] Nabi menempuh cara-cara gradual untuk menghapuskan perbudakan. Nabi juga memberikan hak-hak budak yang sebelumnya terabaikan. Namun, sayangnya konteks sejarah belum matang untuk pembebasan budak secara total, dan karenanya, alih-alih melemah, lembaga perbudakan malah semakin menguat setelah Nabi wafat. Setelah imperium Byzantium dan Persia berhasil ditaklukkan, Islam berubah menjadi feodal (feudalised) dan menjadi kekuatan yang eksploitatif yang terlembaga selama tiga dekade serta telah kehilangan elan pembebasannya. Para ahli hukum Islam berhadapan dengan situasi kesejarahan yang konkrit, melakukan kodifikasi hukum syari'ah di bawah pengaruh atmosfir tersebut, dan dengan demikian mereka juga kehilangan elan pembebasan Islam-awal. "Kerusakan berat" pada elan pembebasan dan progresivitas Islam ini telah ditimbulkan oleh para ahli teologi dan ahli hukum Islam dengan cara mengaburkan apa yang diperintah oleh batasan-batasan situasional. Generasi berikutnya mengikuti mereka secara tidak kritis dan dengan demikian terciptalah suatu tatanan syari'ah yang kaku dan tidak dapat diubah. Sementara itu, ulama masa kini--dengan semangat tidak kritis yang sama--menganggap hukum-hukum yang dirumuskan oleh ulama terdahulu sama dengan kebijaksanaan Ilahi dan mempunyai validitas abadi. Mereka juga mengabaikan fakta bahwa kebijaksanaan Ilahiyah bersifat transendental, melampaui batas-batas ruang dan waktu. Salah satu fungsi Tuhan yang essensial adalah rububiyyah yang didefinisikan oleh Imam Raghib Asfahani sebagai membimbing ciptaan-Nya melalui tahap-tahap evolusi yang berbeda ke arah kesempurnaan.[19] Jika kebijaksanaan ilahiyah harus tetap berlaku, para ulama mestinya berupaya terus menerus untuk memecahkan ketegangan antara yang aktual dan yang mungkin, yang nyata dan yang ideal, yang sementara dan yang abadi.
Masalah lain yang juga selalu disalahpahami adalah makna jihad dalam Islam. Selama ini jihad diartikan sebagai persetujuan Islam untuk menggunakan cara kekerasan. Kesan, bahwa Islam mengabsahkan cara kekerasan dalam mencapai tujuannya terus berlangsung. Agama tidak dapat disebarkan dengan pedang. Ia tersebar karena kesadaran. Orang harus kembali pada asal-usul Islam jika masalah ini ingin dipahami dalam konteks yang tepat.
Pada periode permulaan Islam di Mekkah, kaum muslimin merupakan minoritas kecil yang berhadapan dengan pedagang-pedagang kaya Mekkah yang mapan dan kuat. Mereka hampir-hampir tidak bisa mengangkat senjata menghadapi penantang-penantangnya yang kuat itu. Dalam menghadapi penindasan seperti itu, satu-satunya jalan yang mereka tempuh adalah pindah ke suatu negeri yang lebih aman dan hal ini dilakukan oleh kaum Muslimin setelah mendapat perintah Nabi. Mula-mula serombongan kaum Muslimin hijrah ke Ethiopia dan rombongan berikutnya hijrah ke Medinah. Kemudian Nabi juga ikut bergabung. Beberapa orang dari suku Aus dan Khazraj bergabung dengan Nabi dan di sana nabi menyusun kekuatan. Di Medinah juga terdapat beberapa suku Yahudi yang cukup berpengaruh. Nabi membuat suatu kesepakatan dengan berbagai suku, termasuk kaum Yahudi, dalam upayanya membentuk sebuah masyarakat yang kohesif.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website TemplatesFreethemes4all.comFree CSS TemplatesFree Joomla TemplatesFree Blogger TemplatesFree Wordpress ThemesFree Wordpress Themes TemplatesFree CSS Templates dreamweaverSEO Design